Senin, 26 November 2007

Topik 61: Latihan Surat Al-‘Ashr ayat 2 dan 3

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Setelah beberapa hari ini off, maka Insya Allah kita lanjutkan lagi pelajaran kita, dengan melanjutkan latihan surat Al-Ashr. Kita sudah pajang lebar membicarakan kaana, inna, anna, dan terakhir masalah mubtada dan khobar. Apa lagi yang kita akan pelajari? Sebenarnya masalah mubtada dan khobar masih ada kelanjutannya, tetapi kita pending dulu ya… Bosen juga kan, mending kita masuk ke latihan dulu…

Oke baiklah. Kita tuliskan ayat 2 surat Al-‘Ashr:

إنّ الإنسان لفي خسر

Kita sudah membahas Inna yang artinya : sesungguhnya.

Al-Insaana = insan (manusia)
La = sungguh
Fii = dalam
Khusrin = kerugian

Kalimat diatas bisa kita ringkas kan, dengan membuang Inna, dan lam taukid (lam penguat), menjadi:

الإنسانُ في خسر - al-insaanu fii khusrin : manusia itu dalam kerugian

Mubtadanya al-insaanu dan khobarnya fii khusrin. Hanya kalimat diatas kurang ada penekanannya, maka dimasukkanlah Inna dan La. Ingat bahwa dengan memasukkan Inna, maka mubtada al-insaanu berubah menjadi al-insaana.

Oke, itu tadi mengenai ayat 2. Sekarang kita masuk ke ayat 3 penggalan pertama.

إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات – illa alladziina aamanu wa ‘amilu ash-shoolihaat

Illa = kecuali
Alladziina = orang-orang yang
Aamanuu = (orang-orang yang) beriman
Wa = dan
‘aamilu = orang-orang yang beramal
Ash-shoolihaat = yang sholeh

Disini banyak sekali pelajaran yang akan kita petik. Insya Allah. Apa saja?

Yang bisa kita pelajari adalah secara ringkas sbb:
1. Bila ada kata Inna .... Illa ..., maka pemberian Inna itu mendukung adanya pengecualian (dengan Illa).
2. Kita pelajari isim mashul, yaitu alladziina. Apa kedudukan dan fungsinya.
3. Kita akan sebutkan lagi ciri-ciri fiil madhy (KKL) untuk pelaku orang ketiga jamak, yaitu adanya waw alif
4. Kita akan pelajari bentuk jamak muannats salim (jamak perempuan beraturan).

Wuih banyak juga ya. Padahal ini hanya penggalan pertama ayat 3 lho... Insya Allah kita akan tuntaskan pembahasannya dalam topik ini.

Oke, kita lihat yang pertama. Jika kita membaca ayat Al-Quran ada kata Inna .... Illa ... maka ayat tersebut menekankan bahwa sesuatu itu sungguh (inna) akan terjadi demikian, kecuali (illa) suatu kondisi. ”Sesungguhnya manusia itu sungguh dalam kerugian”, kecuali (kondisi).

Biasanya ayat ayat Al-Quran menggunakan illa dalam kondisi seperti ini:
Inna (kata benda + keterangan) Illa (kondisi)
Laa (kata benda + maujuudun) Illa (kondisi)
Laa (KKS) Illa (kondisi)
Maa (KKL) Illa (kondisi)

Contoh:
Inna Illa

فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ

karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam (Asy-syuara : 77)

Laa Illa

لا أستاذ إلا عمر – laa ustaadza illa Umaar (tidak ada Ustadz (yang hadir) kecuali Umar)

Laa Illa

لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali orang yang disucikan (Al-Waqiah:79)

Maa Illa

وَمَا أَضَلَّنَا إِلَّا الْمُجْرِمُونَ

Dan tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang berdosa (Asy-syu’ara:99)

Oke saya rasa kita sudah cukup melihat contoh-contoh pemakaian Illa. Sekarang kita masuk ke topik berikutnya yaitu tentang isim maushul (kata penghubung).

ISIM MAUSHUL

Dalam bahasa Indonesia kata penghubung ini disebut kata sambung, dalam bahasa Arab contohnya الذي -alladzi dan الذين – alladziina. Terjemahan yang pas untuk kedua ini adalah: "yang" untuk alladzi dan "orang-orang yang" untuk alladziina. Bentuk lainnya banyak ada alladzaani (untuk 2 orang, atau 2 hal), allati (untuk yang – perempuan) dst.

Tapi yang banyak adalah alladzii dan alladziina.

Contohnya:
أنت مجتهد – anta mujtahidun : Anda orang yang ulet
أنت تدرسُ دائما – anta tadrusu daaiman: Anda senantiasa belajar

Jika digabung:
Anda yang senantiasa belajar adalah orang yang ulet.

أنت الذي يدرسُ دائما مجتهدٌ – anta alladzii yadrusu daaiman mujtahidun

Perhatikan bahwa kalimat pertama dan kalimat kedua jika digabung maka perlu isim maushul. Dalam bahasa Inggris, isim maushul ini sering kali adalah: that, which, who, dsb.

You are diligent.
You always study.

Digabung:

You who always study are diligent.

Shilah

Apa itu shilah? Shilah yaitu kata atau kalimat setelah isim maushul, yang jenisnya harus sama dengan jenis isim maushulnya. Contohnya:

Jika kita pakai alladzii, maka ini merujuk kepada orang ke-3 tunggal, maka shilahnya juga orang ke-3 tunggal. Lihat bedanya:

تدرسُ – tadrusu: belajar (orang kedua tunggal)
يدرسُ – yadrusu: belajar (orang ketiga tunggal)

Pada kalimat awal: kita pakai tadrusu. Tetapi tadrusu berubah menjadi yadrusu, karena dia terletak setelah alladzii. Yadrusu adalah shilah bagi alladzi.

Perhatikan lagi kalimat setelah digabung:

أنت الذي يدرسُ دائما مجتهدٌ – anta alladzii yadrusu daaiman mujtahidun : Anda yang senantiasa belajar adalah orang yang ulet.

Perhatikan dalam kalimat (yang panjang) diatas, mubtada nya anta, dan khobarnya adalah mujtahidun. Sedangkan alladzii yadrusu daaiman adalah pelengkap. Jadi terkadang kalimat yang panjang dalam bahasa Arab itu bisa kita "peras" menjadi hanya mubtada + khobar, sisanya adalah pelengkap kalimat saja. Mengetahui mubtada dan khobar ini akan membantu kita dalam menerjemahkan bahasa Arab al-Quran.

Insya Allah akan kita lanjutkan dengan pembahasan mengulagi fiil madhy dan bentuk jamak muannats salim.

Sabtu, 17 November 2007

Topik 60: Khobar Muqoddam

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita menyisakan pertanyaan pada topik 59, yaitu apa bahasa Arabnya:

A boy is in the house?

Mas… Kalau:

The boy is in the house, bahasa Arabnya: الولدُ في البيتِ – al-waladu fii al-bayti

Nah kan Mas pernah bilang, kalau kata benda yang belum diketahui, maka tinggal buang AL nya, sehingga al-waladu, buang al, menjadi waladun.

ولدٌ في البيتِ – waladun fii al-bayti

Secara umum sih iya. Anda betul sekali. Hanya saja, dalam bahasa Arab, adalah janggal (jarang dipakai, atau agak aneh), jika mubtada itu bukan kata benda yang tidak definitive (sudah diketahui).

Dalam bahasa Arab ada dua istilah: ma’rifah dan nakiroh.

ولدٌ – waladun : A Boy (seorang anak laki-laki) ini disebut nakiroh (umum, belum spesifik)

الولدُ – al-waladu: The Boy (anak laki-laki itu), ini disebut ma’rifah (jelas anak laki-laki mana yang dimaksud)

Nah kembali ke kalimat diatas:

ولدٌ في البيتِ – waladun fii al-bayti

Mubtada: waladun (nakiroh)
Khobar: fii al-bayti

Kalimat diatas jarang ditemukan, atau janggal. Lalu biar gak janggal gimana dong Mas? Nah orang Arab ada solusinya. Gimana tuh? Solusinya, Khobarnya dikedepankan (muqoddam). Sehingga kalimatnya menjadi:

في البيتِ ولدٌ – fii al-bayti waladun : A boy is in the house, atau bisa juga In the house, (there) is a boy.

Nah terlihat bahwa kadang khobar mengawali kalimat.

Dalam Al-Quran kita sering menemukan khobar muqoddam ini. Contohnya sudah pernah dibahas dulu dalam Surat Al-Baqoroh ayat 10.

في قلوبهم مرضٌ – fii quluubihim maradhun : dalam hati mereka ada penyakit. Atau lebih tepat sebenarnya: Penyakit (ada) dalam hati mereka. Tapi masalahnya karena penyakit itu bersifat general (umum) artinya bisa penyakit apa saja, maka tidak dipakai al-maradhu, tetapi maradhun.

Kalau penyakitnya itu jelas apa jenisnya, maka dipakai al-maradhu. Jika al-maradhu, maka kalimatnya (umumnya) mengikuti pola yang umum yaitu:

المرضُ في قلوبهم – al-maradhu fii quluubihim.

Perhatikan mubtada adalah maradhu (penyakit) sedangkan khobar adalah fii quluubihim (dalam hati mereka).

Dan perhatikan, karena mubtada’nya nakiroh (maradhu), sehingga tidak bisa diawal kalimat, yang akibatnya mubtada “mengalah” menjadi di-akhir kalimat. Jadilah dia menjadi: في قلوبهم مرضٌ – fii quluubihim maradhun : dalam hati mereka ada penyakit, atau Penyakit (ada) dalam hati mereka.

Allahu a’lam bish-showwab.

Topik 59: Jenis-Jenis Khobar

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kali ini kita akan menggali jenis-jenis khobar. Apa saja itu? Oke, kita mulai dengan contoh.

الطالبُ مجتهدٌ – at-thaalibu mujtahidun : Siswa itu rajin

Mana mubtada dan khobar nya? Gampang.

Mubtada: الطالبُ - ath-thaalibu : siswa itu
Khobar: مجتهدٌ – mujtahidun : rajin

Nah, topik kali ini kita akan singgung, apa saja jenis khobar, dan jenis mubtada. Oke perhatikan kalimat diatas.

Mubtada ath-thaalibu, adalah kata benda alam (isim alam)
Khobar mujtahidun, adalah kata benda sifat (isim shifat)

Apa saja jenis Mubtada lain? Jenis mubtada yang lain adalah kata-ganti (isim dhomir).

Kalimat diatas, bisa saya ubah.

The student is diligent: الطالبُ مجتهدٌ – at-thaalibu mujtahidun : Siswa itu rajin
He is diligent: هو مجتهدٌ – huwa mujtahidun : Dia rajin.

Nah dalam kalimat diatas, mana mubtada dan khobar?

Mubtada: huwa – dia
Khobar: mujtahidun – rajin

Itulah 2 bentuk / jenis mubtada’ yang umum dijumpai. Apa itu? Kita ulangi. Mubtada bisa berupa isim alam (nama orang, nama benda, profesi orang, dsb), atau kata ganti (saya, kamu, dia, mereka, dsb).

Ada lagi jenis yang umum juga untuk mubtada, yaitu kata benda penunjuk (isim isyarah). Contohnya: ini, itu.

Saya katakan sbb:

ذلك البيتُ – dzalika al-baytu: itu rumah. That is the house.
هذا ولدٌ – hadza waladun : ini seorang anak laki-laki. This is a boy.
هذا الولدُ – hadza al-waladu : ini seorang anak laki-laki itu. This is the boy.

Nah mubtada dalam tiga kalimat diatas adalah: dzalika (itu) dan hadza (ini). Sedangkan khobarnya adalah al-baytu (rumah [yang sudah diketahui oleh lawan bicara]), waladun (anak laki-laki [siapapun dia]), atau al-waladu (anak laki-laki [yang sudah diketahui oleh lawan bicara]).

Oke, kita tutup dengan kesimpulan. Mubtada, bisa terdiri dari (salah satu)
1. Isim alam (nama orang, nama benda, profesi, dsb)
2. Kata ganti (saya, dia, mereka, kamu, dsb)
3. Isim isyarah (ini, itu)

Sekarang kita beralih ke jenis-jenis Khobar.

Perhatikan lagi kalimat-kalimat diatas. Rata-rata khobar itu terdiri dari, isim shifat (seperti rajin, malas, besar, ganteng, dll), atau kata benda isim alam (seperti dalam kalimat “itu rumah”).

Sekarang saya kasih contoh, yang mungkin membuat kita bingung.

Apa bedanya:

هذا البيتُ كبيرٌ جديدٌ – hadza al-baytu kabiirun jadiidun

هذا البيتُ الكبيرُ جديدٌ – hadza al-baytu al-kabiiru jadiidun

Bedanya kalau dalam bahasa Inggris lebih terlihat, sbb:

هذا البيتُ كبيرٌ جديدٌ – This house is big (and) new : rumah ini besar (lagi) baru

هذا البيتُ الكبيرُ جديدٌ – This big house is new : rumah besar ini baru

Pada kalimat pertama, mubtada: this house, khobarnya big (and) new
Pada kalimat kedua, mubtada: this big house, khobarnya new

Oke, sampai disini, kita resume-kan, tentang khobar. Khobar dapat terdiri dari isim shifat, isim alam. Sekarang bentuk ke 3.

Bentuk ke-3 Khobar: JER MAJRUR

Oke apa lagi nih Mas? JER MAJRUR. Hehe… istilah ini sering dipakai dalam pelajaran bahasa Arab. Apa itu? Gampangnya saya kasih contoh begini.

dalam rumah: في البيتِ – fii al-bayti.

Ingat-ingat lagi pelajaran kita dulu-dulu banget, tentang huruf jer (kata depan). Contohnya في – fii (didalam), على – ‘alaa (diatas), من – min (dari), إلى – ilaa (ke), dst. Nah kata-kata ini disebut JER. Lalu MAJRUR apa? Majrur adalah kata benda setelah JER. Dalam contoh diatas Majrur nya adalah البيتِ – al-bayti. Lalu gabungan keduanya disebut kalimat JER MAJRUR.

Nah bentuk ke 3 dari khobar ini, dapat berupa jer majrur ini. Contohnya begini.

الولدُ في البيتِ – al-waladu fii al-bayti : The boy in the house – anak laki-laki itu dalam rumah.

Mana mubtada dan khobarnya? Mubtada, pastilah al-waladu. Dan khobarnya adalah JER MAJRUR yaitu fii al-bayti.

Oke ya, semoga yang diatas itu bisa dimengerti. Sekarang ada masalah nih.

Bagaimana kalau, di dalam rumah itu, anak laki-lakinya belum diketahui. Oh ya, sebelumnya, Anda pasti tahu kan apa bedanya dua kalimat ini:

The boy is in the house
A boy is in the house

Dalam kalimat kedua, anak laki-lakinya belum diketahui. Bisa anak siapa saja. Sehingga dipakai A Boy (waladun, bukan al-waladu). Sedangkan dalam kalimat pertama, anak laki-lakinya adalah sudah diketahui, misal Anaknya Bang Faisal, misalkan. Dalam kalimat pertama, karena Boy nya sudah diketahui maka dipakai The (atau al, sehingga menjadi al-waladu)

Dalam bahasa Arab, kedua kalimat itu sebagai berikut.

The boy is in the house : الولدُ في البيتِ
A boy is in the house : ???

Apa kira-kira yang akan Anda isi untuk ??? diatas. Jawabannya Insya Allah di topik selanjutnya. Ini masuk dalam Bab Khobar Muqoddam (khobar yang didahulukan). Baca topik selanjutnya.

Topik 58: Inna dan saudara-saudaranya

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita sebenarnya akan melanjutkan pembahasan surat Al-‘Ashr ayat 2. Sebagaimana telah disampaikan kita menghadapi Inna di awal ayat kedua ini. Pembahasan إنَّ sangat dekat dengan pembahasan mubtada dan khobar. Telah kita lihat bahwa pengetahuan mengenai mubtada dan khobar ini sangat penting. Karena yang mempengaruhi mubtada dan khobar itu ada dua kelompok:

كان dan saudara-saudaranya.
إنَّ dan saudara-saudaranya.

Nah, saudara-saudara kaana itu banyak. Saudara-saudara inna juga banyak, suatu saat kita akan ketemu. Tapi untuk sekedar contoh, saudara-saudara إنَّ itu ada 5, diantaranya لعل – la’alla, dan ليت – layta. Dua-duanya artinya semoga, dengan beda maksud. La’alla adalah harapan yang mungkin terjadi, sedangkan layta adalah harapan yang mustahil terjadi.

Contohnya:

زيدٌ عالمٌ – Zaidun ‘aalimun : Zaid adalah orang yang berpengetahuan

Jika kita tambahkan inna, menjadi:

إنَّ زيدً عالمٌ – Inna Zaidan ‘aalimun : Sesungguhnya Zaid adalah orang yang berpengetahuan

Nah kita bisa mengganti inna dengan la’alla atau layta:

لعل زيدً عالمٌ – la’alla Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

ليت زيدً عالمٌ – layta Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

Perhatikan fungsi la’alla dan layta, sama dengan fungsi inna, yaitu menashobkan mubtada dan merafa’kan khobar. Lihat bahwa Zaidun (rofa’) setelah kemasukan inna, atau saudara-saudara inna (spt. La’alla dan layta), maka mubtada itu jadi nashob (dari Zaidun berubah menjadi Zaidan).

Perhatikan beda la’alla dengan layta diatas. Kalimat pertama, kemungkinan besar terjadi.

لعل زيدً عالمٌ – la’alla Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

Misalkan tampak Zaid itu memang anaknya rajin, sehingga kemungkinan dia jadi orang alim, sangat besar.

Nah beda halnya dengan kalimat kedua. Misalkan telah diketahui umum bahwa Zaid itu anaknya idiot. Maka mengharapkan Zaid menjadi orang yang berilmu, tentu sia-sia, alias mustahil. Maka la’alla tidak tepat digunakan. Tetapi yang digunakan adalah layta.

ليت زيدً عالمٌ – layta Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan --> yang tidak mungkin terjadi, karena Zaid idiot, misalkan.

Atau seperti saya katakan:

ليت النارَ باردةٌ – layta an-naara baaridatun : semoga api itu dingin

Mengharap sifat api jadi dingin tentu mustahil. Makanya kita pakai layta.

Oke apa pelajaran yang kita dapatkan di topik ini? Ya, kita sudah lihat bahwa teman-teman inna itu cukup banyak, ada 5 (saya baru sebut 2 kan, yaitu la’alla dan layta). Teman-teman kaana juga banyak. Nah akan sangat untung kita, kalau kita tahu apa tugas kaana (dan saudara-saudaranya) dan apa tugas inna (dan saudara-saudaranya).

Oke, satu lagi, saudara Inna adalah Anna (hehe berarti saya sudah kasih tahu 3 ya).

Oke Anna sama dengan Inna, secara fungsi dan arti. Bedanya apa? Bedanya, kalau Inna ada diawal kalimat, kalau Anna ada ditengah kalimat.

Contohnya:

Saya paham, sesungguhnya Zaid itu orang yang berilmu.

فهمتُ أنَّ زيدً عالمٌ – fahimtu anna Zaidun ‘aalimun : saya paham, sesungguhnya Zaid itu orang berilmu.

Perhatikan bahwa awal kalimatnya adalah fahimtu (saya paham). Karena Inna tidak diawal kalimat, maka dia berubah menjadi Anna.

Oh ya terkadang dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, karena anna terletak di tengah kalimat, maka dia sering diterjemahkan dengan “bahwasannya”, sehingga contoh diatas menjadi:

فهمتُ أنَّ زيدً عالمٌ – fahimtu anna Zaidun ‘aalimun : saya paham, bahwasannya Zaid itu orang berilmu.

Oke, topik mengenai mubtada dan khobar ini masih belum selesai. Insya Allah kita akan lanjutkan dengan jenis-jenis khobar (prediket).

Kamis, 15 November 2007

DARI QATAR SAMPAI TURKI

Alhamdulillah, perasaan senang saya haturkan kepada para pembaca sekalian. Adalah suatu kesenangan tersendiri bagi seorang penulis, jika tulisannya dibaca. Latar belakang saya menulis, adalah sharing. Saya percaya semakin banyak yang kita beri (apapun itu, termasuk Ilmu), maka Allah akan menggantikan apa yang kita berikan itu dengan sesuatu yang lebih baik.

Setelah membuat blog ini dan rutin menulis tiap minggu (paling tidak) satu tulisan, saya mulai dihinggapi rasa jenuh. Apa ada ya orang yang membaca? Apa saya capek-capek nulis, sharing pengalaman saya belajar bahasa Arab, apa worth it gitu?

Saya yakin, banyak orang seperti saya. Ingin belajar bahasa Arab, agar mengerti apa yang dibaca ketika sholat, atau ketika baca Al-Quran. Semangat untuk bisa itu membuat saya terus ingin belajar. Tapi, dasar gak punya landasan waktu kecil (hehe ketahuan waktu kecil gak ikut madrasah), maka belajar dikala sudah dewasa terasa sangat sukar. Hanya semangat yang besar, dan keyakinan bahwa Allah SWT akan memudahkan, dan akan mengganti jerih payah ini dengan pahala, yang membuat saya tetap ingin menulis.

Setelah hampir 1 tahun berlalu dan sudah memasuki topik 50 an lebih, timbul keinginan saya untuk tahu, siapakah yang membaca, dari negara mana saja, berapa lama waktu yang dilewati membaca tulisan di blog ini. Alhamdulillah saya bertemu sensor untuk mengetahui itu. Sensor tersebut saya pasang kemaren. Dalam 1 hari lebih ini, telah ada pengunjung sebanyak 147 orang, dengan jumlah hit 361. Rata-rata satu orang menghabiskan 4 menit dalam sekali kunjungan.

Pengunjung tersebar dari beberapa negara. Pengunjung dari Indonesia paling banyak sebesar 46%, diikuti pengunjung dari Malaysia 16%, Amerika 14%, Norwegia 10%, dan Jepang 4%.

Kalau yang dari Malaysia, beberapanya mengirimkan email pribadi ke saya. Sedangkan kalau dari pengunjung dari Negara Lain, spt Jepang, Norwegia, Amerika, saya menduga ini adalah pelajar Indonesia, atau orang Indonesia yang bekerja di negara tersebut.



Sebenarnya sensor tersebug menghasilkan report yang lebih banyak lagi. Seperti tulisan mana yang paling sering dibaca. Bagaimana orang sampai ke blog ini (apakah di-refer oleh Yahoo, Google, atau Website lain) dsb. Alhamdulillah, saya bersyukur menemukan sensor ini.

Demikian sekilas profile dari pembaca blog ini, dari pengamatan selama satu dua hari ini, dan kita akan lanjutkan minggu depan Insya Allah, dengan pembahasan Ayat 2 surat Al-'Ashr.

Senin, 12 November 2007

Topik 57: Pendalaman masalah Mubtada’ dan Khobar

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Sebelum kita lanjutkan pembahasan ayat 2 surat Al-‘Ashr, kita berhenti sejenak disini. Oke kita sudah lihat dan bahas peranan dan fungsi kaana dan inna dalam kalimat. Ingat-ingat lagi ya, karena dua kata ini sering dipakai dalam Al-Quran.

Oke. Kalau dilihat bahwa peranan atau fungsi kaana dan inna ini, sangat berkaitan dengan apa yang disebut mubtada’ dan khobar. Maka pengetahuan mengenai mubtada’ dan khobar ini perlu lebih di perdalam. Sebagai perbandingan kitab Al-Arabiyah Bin Namajiz (Bahasa Arab dengan Pola-pola) membahas masalah mubtada dan khobar ini ke dalam 4 bab terpisah. Dari sini tercermin betapa pentingnya pengetahuan mengenai mubtada’ dan khobar ini.

Oke baiklah. Walau secara ringkas kita sudah bahas, bahwa mubtada’ itu subjek dan khobar itu prediket, sebenarnya pembagian ini kurang begitu operasional. Saya akan jelaskan mengapa.

Mari kita berandai-andai membuat perumpamaan kalimat.

Misal saya katakan:

The house is big.

Rumah itu besar.

Oke dalam bahasa Arab kita katakan:

البيتُ كبيرٌ – al-baytu kabiirun --> Kalimat A

Nah dalam bahasa Arab diatas terlihat bahwa mubtada’ adalah البيتُ – al-baytu, dan yang menjadi khobar adalah كبيرٌ – kabiirun.

Sangat straightforward dan mudah kan.

Tapi bayangkan skenario begini. Tanpa sengaja saya “tertambahkan” alif lam di depan kabiirun. Sehingga kalimatnya menjadi:

البيتُ الكبيرُ - al-baytu al-kabiiru --> Kalimat B

Apa padanan bahasa Inggris nya? Padanan untuk kalimat diatas berubah, menjadi

The big house (rumah besar itu)

Lihat bedanya.

The house is big: Rumah itu besar (kalimat A)
The big house: Rumah besar itu (kalimat B)

Kalimat A adalah kalimat yang sempurna, yang terdiri dari Mubtada’ (Rumah itu) dan Khobar (besar).

Sedangkan kalimat B, bukan kalimat sempurna. Kenapa? Karena kalimat B, hanya terdiri dari mubtada’ saja. Khobarnya tidak ada. Jadi kalimat “Rumah besar itu …” adalah mubtada’, belum jelas “ada apa dengan rumah besar itu”, alias belum ada khobarnya (khobar dalam bahasa Arab artinya berita). Kalimat B, khobarnya belum ada, atau berita-nya belum ada.

Oke. Sekarang kembali ke kalimat B. Saya katakan tadi bahwa Kalimat B belum sempurna. Bagaimana membuat kalimat B jadi sempurna?

Gampang. Tinggal kasih khobar, kan? Ya, anda benar.

Misalkan saya katakan:

The big house is new.

Sekarang saya sudah pilih new: baru (جديد - jadiidun) sebagai khobar. Maka kalimat B, dalam bahasa Arab jika ditambahkan jadiidun, menjadi:

البيتُ الكبيرُ جديدٌ – al-baytu al-kabiiru jadiidun

Sim salabim. Kalimat diatas berubah jadi kalimat sempurna, karena sudah ada khobar (prediket) nya. Mana khobarnya? Yaitu jadiidun.

Nah, kita sudah lihat kan ciri-ciri mana yang khobar, mana yang mubtada. Ciri-cirinya begini:

- Jika ada kata benda ma’rifat (spesifik: biasanya ditandai dengan alif lam -al), maka dia mubtada. Dalam contoh diatas بيتٌ – baitun (sebuah rumah), kemasukan alif lam menjadi البيتُ – al-baytu (rumah itu), adalah mubtada (karena ada al-nya)

- Jika setelah mubtada itu kata benda lagi yang juga spesifik (ada alif lam), maka kata benda itu bukan khobar, tapi shifat dari mubtada’. Dalam contoh diatas, kata كبيرُ - kabiirun (besar) karena mendapat alif lam menjadi al-kabiiru ( الكبيرُ ) maka dia bukanlah khobar, tetapi sifat dari mubtada. Sehingga kita tidak bisa terjemahkan: the house is big, tapi the big house.

- Setelah shifat, jika masih ada kata benda yang ada alif-lam, maka dia bukan lah khobar, tetapi shifat yang kedua. Saya bisa membuat begini: البيتُ الكبيرُ الواسعُ جديدٌُ – al-baytu al-kabiiru al-waasi’u jadiidun (The big large house is new ), atau Rumah yang besar (lagi) luas itu baru. Terlihat disini besar (big) dan luas (large) adalah sifat dari rumah itu, dan keduanya adalah masih bagian dari mubtada’. Sedangkan khobarnya adalah jadiidun (baru).

- Jika setelah mubtada (yang ada al-nya) ada kata benda yang tidak ada al-nya, maka itulah khobarnya. Dalam contoh diatas, kata jadiidun (baru) tidak ada al-nya, maka dapat diindikasikan kata jadiidun adalah khobar.

Ingat, jika sebuah kalimat sudah ada mubtada’ dan khobarnya maka, itu disebut kalimat sempurna.

Demikian, mudah-mudahan jelas ya. Sebagai penutup, saya sampaikan bahwa khobar-pun dapat terdiri dari lebih dari satu kata. Contoh sebelumnya khobar hanya satu kata, yaitu jadiidun. Dalam Al-Quran kadang-kadang khobar itu terdiri dari 2 kata benda.

Contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 115.

إن الله واسعٌ عليمٌ – inna Allaha waasi’un ‘aliimun : sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.

Lihat kalimat diatas, jika inna saya buang maka menjadi:

اللهُ واسعٌ عليمٌ – Allahu waasi’un ‘aliimun : Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.

Perhatikan, bahwa struktur kalimatnya:

Mubtada: Allahu
Khobar: waasi’un ‘aliimun

Khobarnya terdiri dari dua kata benda. Kita bisa lanjutkan menambahkan kata benda (yang merupakan sifat dari Mubtada) dengan tambahan lain misalkan: Allahu waasi’un ‘aliimun rahiimun rahmaanun dst (dimana mubtada'-nya Allahu, dan sisanya adalah khobar).

Jelaslah sekarang, bahwa kepandaian menentukan mana khobar, mana mubtada’ akan membantu kita dalam menerjemahkan text Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan inna dan kaana. Insya Allah akan kita jelaskan mengenai khobar muqoddam, pada topik-topik selanjutnya.

Rabu, 07 November 2007

Topik 56: Fungsi Inna

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan segera masuk ke ayat 2 surat Al-‘Ashr. Dalam topik ini kita akan pelajari fungsi dari inna ( إنّ ) dan anna ( أنَّ ), dan apa bedanya dengan kaana ( كان ). Dan jika ada waktu kita bahas juga bedanya dengan an ( أنْ ).

Empat hal itu sangat sering ketukar-tukar (at least bagi saya sendiri). Oke sebelum masuk ke ayat 2 nya, saya sampaikan summary dari 4 hal tsb.

Kata inna ( إنّ ) artinya: sesungguhnya (indeed) dan anna ( أنَّ ) artinya : bahwasannya. Terlihat berbeda antara inna dan anna, secara bahasa Indonesia. Tetapi secara bahasa Arab fungsi dan kedudukannya sama. Anna adalah inna yang terdapat ditengah kalimat.

Kaana fungsinya kebalikan dari Inna. Kaana secara arti sudah dibahas panjang lebar di topik sebelum ini (lihat dan baca lagi jika belum paham).

Sedangkan kata an ( أنْ ), secara bahasa Indonesia tidak ada artinya (tidak bisa diartikan), tapi karena dekat (apalagi kalau nanti baca arab gundul) kita sukar membedakan:
أن apakah أنَّ – anna (bahwasannya) atau أنْ – an (tidak ada padanan bahasa Indonesianya).

Oke baiklah kita sekarang masuk ke ayat 2 surat Al-‘Ashr.

إنَّ الإنسان لفي خسر - inna al-insaana la fii khusrin

Inna = sesungguhnya
Al-insaana = manusia (insan)
La = sungguh
Fii = dalam
Khusrin = kerugian

Baiklah... Kita lihat Inna dalam kalimat diatas, artinya sesungguhnya. Ya, kata inna ini fungsinya penekanan. Sering dalam bahasa Inggris diterjemahkan Indeed. Oke, kalau begitu apa kedudukan dan fungsi inna dalam kalimat?

Fungsi (tugas) inna adalah sbb:
- me-nashob-kan mubtada'
- me-rafa'-kan khobar.

Oh, kalau begitu fungsinya kebalikan dari kaana كان ya Mas? Ya, Anda betul. Kalau Kaana fungsinya:
- me-rafa'kan mubtada'
- me-nashobkan khobar.

Duh bingung nih... bisa kasih contoh gak?

Oke pada saat membahas kaana kita kasih contoh sbb:

كان البيتُ جميلا - kaana al-baitu jamiilan : (dulu) rumah itu bagus

kalau kita pakai Inna maka menjadi:

إن البيتَ جميلٌ - inna al-baita jamiilun : sesungguhnya rumah itu bagus

Terlihat bedanya kan. Mubtada al-baitu, khobar jamiilun. Jika kemasukan kaana, maka kbobar menjadi nashab (fathah). Sedangkan jika kemasukan inna maka mubtada' jadi nashab (fathah).

Oke sekarang kita sudah tahu bedanya: kaana dan inna secara fungsi. Kita kembali ke surat Al-'Ashr ayat 2 ini.

إنَّ الإنسان لفي خسر - inna al-insaana la fii khusrin

terlihat dari kalimat diatas yang menjadi Mubtada adalah al-insaana. Lalu khobarnya mana. Nah khobarnya disini adalah khobar jumlah (khobar yang tidak terdiri dari 1 kata, tapi dari kalimat). Jika khobarnya khobar jumlah, maka efek perubahan dhommah ke fathah tidak kelihatan.

Kalimat diatas bisa diganti dengan khobar satu kata saja.

إن الإنسان خسرا - inna al-insaana khusran : sesungguhnya manusia itu rugi

Lihat bahwa khobarnya menjadi fathah (dibaca khusran, bukan khusrun atau khusrin)

Nah kalau kita pakai kaana, kalimat diatas menjadi:

كان الإنسان خسْرٌ - kaana al-insana khusrun : (dulu) manusia itu rugi

Atau jika khasirun tidak ingin dalam bentuk mashdar, kita ubah ke isim fail menjadi khaasirun

إن الإنسان خاسِرٌ - inna al-insaana khaasirun : sesungguhnya manusia itu (adalah) orang yang merugi

Jadi, kita ulangi, bahwa kanaa secara fungsi (tugas) dalam kalimat, berkebalikan dengan inna.

Insya Allah di topik selanjutnya kita akan bahas mengenai lam taukid (lam penguat). Lihat di ayat 2 ini ada kata-kata:

la fii khusrin

Nah pada kalimat diatas adalah lam taukid. Insya Allah kita akan bahas juga pendalaman masalah khobar yang panjang (ditambahi dengan shifat / maushuf).

Senin, 05 November 2007

Topik 55: Fungsi dan Kedudukan WAW

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan masuk ke ayat pertama surat Al-‘Ashr. Kita akan pelajari peranan dan fungsi huruf waw.

Oke sebelum kita masuk ke ayat 1, saya tanya dulu nih, rasanya semua tahu arti wa = dan, bukan? Feeling saya mungkin semua yang bisa baca al-Quran ya katakanlah 80% pasti tahu kan bahwa kata وَ wa itu artinya “dan”

Misal:

ذهب إلى المسجد عمر و علي - dzahaba ila al-masjidi Umar wa ‘Ali

Pergi ke masjid (si) Umar dan Ali.

Nah semua pasti tahu kan kata عمر و علي – Umar wa ‘Ali, bahwa kata wa disitu artinya dan? Ya saya rasa semua sudah pada tahu ya.

Oke apa lagi makna wa itu? Nah ini saya kasih daftarnya. Wa itu maknanya ada 3 kemungkinan:

1. Artinya: dan (and)
2. Artinya: demi (untuk sumpah)
3. Artinya: padahal

Oooo… gitu… Yang saya tahu selama ini, wa itu artinya hanya dan, ternyata ada arti lain ya… Oke kapan masing-masing itu kita gunakan? Insya Allah saya akan jelaskan.

Baiklah, kita masuk ke ayat 1 dulu ya, surat Al-‘Ashr:

و العصر - wa al-‘ashri

Diterjemahkan: Demi Masa.

Oke kata al-‘ashr bisa artinya masa (waktu), bisa artinya senja. Kalau begitu wal-ashr itu artinya: Dan masa dong mas… Kok malah diterjemahin Demi Masa?

Nah ini lah fungsi pertama waw. “WA” jika diikuti isim yang harokatnya kashroh, maka kata “WA” disitu artinya “DEMI” yang diucapkan dalam rangka sumpah.

Misalkan begini. Pernah lihat kan kalau pejabat disumpah dibawah Al-Qu’ran. “Demi Allah. Saya bersumpah. Bahwa saya … bla bla bla”. Nah kata-kata : Demi Allah disitu dalam bahasa Arabnya:

و اللهِ – wa Allahi, atau wallahi.

Lihat harokat kata Allah adalah kasroh, sehingga dibaca wallahi. Nah kalau waw bertemu isim (kata benda) dengan harokat kasroh, maka ini adalah kalimat sumpah, dimana wa diterjemahkan DEMI.

Dalam Al-Quran banyak ditemukan Allah bersumpah dengan nama Makhluknya. Seperti wal-layli : Demi Malam, wan-nahaari : Demi Siang, wal-fajri : Demi (waktu) Fajar, dsb.

Jadi singkat cerita, untuk mengartikan WA tinggal dilihat harokat isimnya, apakah kasroh atau tidak. Jika kasroh, maka diterjemahkan “DEMI”, jika tidak (dhommah, atau fathah) maka diterjemahkan DAN.

Kita tidak boleh bersumpah dengan nama makhluk. Misalkan: walardhi (demi bumi) saya berjanji tidak berbohong. Nah ini tidak boleh. Manusia hanya boleh bersumpah atas nama Allah.

Sampai disini kita sudah mempelajari 2 fungsi dan macam waw yaitu:
WAW QOSAM (WAW janji) yang diterjemahkan Demi
WAW ATHOF (WAW penyambung) yang diterjemahkan Dan

Ada jenis WAW yang ke tiga yaitu WAW HAL, yaitu waw yang menjelaskan suatu keadaan (yang biasanya bertentangan dengan asumsi). Misalkan dalam surat Al-Maarij ayat 7.

ayat 6: Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh.
ayat 7: و نراه قريبا - wa naraa hu qoriiban

wa = padahal
naraa = kami melihat
hu = nya
qoriiban = dekat

Orang kafir memandang siksaan akhirat itu jauh (Ibnu Katsir menafsirkan maksud jauh itu mustahil terjadi). Jadi orang kafir merasa siksaan akhirat itu mustahil terjadi. Padahal Allah SWT memandang siksaan itu sangatlah dekat dengan mereka. Lihat wa disini diterjemahkan padahal.

Demikianlah telah kita bahas 3 macam jenis WAW. Insya Allah jelas ya. Alhamdulillah.