Jumat, 28 Desember 2007

Topik 69: Mudhof Ilaih (Lanjutan) - Pembesar Penjahat

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Seharusnya kita masuk ke surat An-Nashr ayat 2, untuk kita membahas masalah isim haal atau adverb (Kata Keterangan). Akan tetapi kita tambahkan sedikit mengenai Mudhof di topik 69 ini. Biar tuntas gituh... (karena rasanya masih ada yang perlu saya sampaikan).

Oke baiklah. Sekarang quiz dikit:

Apa bahasa Arabnya: The house of the big man is nice.

Jawab: Bahasa Arabnya:

بيتُ الرجلِ الكبيرِ جميلٌ - baytu ar-rajuli al-kabiiri jamiilun (dibaca sambung: baytul rajulil kabiir jamiil)

Bahasa Indonesia-nya:

Rumah laki-laki yang besar itu bagus.

Nah, yang menarik bagi saya (atawa kita-kita yang masih pemula ini adalah), bahwa bahasa Inggris maupun bahasa Arab, tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi:
1. Objek
2. Pemilik dari Objek
3. Sifat dari Pemilik Objek
4. Sifat dari Objek

Eh eh... kok rumit seh??? Ehm... maksudnya begini.

Coba baca kalimat ini:

Rumah laki-laki yang besar itu bagus.

Apa yang besar dan apa yang bagus? Apakah yang besar laki-lakinya atau rumahnya? Yang hampir pasti tidak menimbulkan keraguan bahwa kata "bagus" dalam kalimat diatas, tentulah sifat untuk Rumah. Bener kan? Tapi bagaimana dengan kata "besar". Mensifati siapakah/apakah kata "besar" disini?

Kalau ditelisik dari struktur bahasa Inggris-nya, kita tidak menemui kesulitan:

The house of the big man is nice.

Terlihat yang "big" (besar) itu sifat dari "man" (laki-laki), sedangkan "nice" (bagus) itu sifat dari "house" (rumah).

Jelas bahwa:
1. Objek: The house
2. Pemilik dari Objek: the man
3. Sifat dari Pemilik : big
4. Sifat dari Objek: is nice

So, kita mudah sekali menentukan 4 hal itu bukan?

Lalu dalam bahasa Arab, juga mudah.
بيتُ الرجلِ الكبيرِ جميلٌ - baytu ar-rajuli al-kabiiri jamiilun (dibaca sambung: baytul rajulil kabiir jamiil)

1. Objek: بستُ baytu
2. Pemilik dari Objek: الرجلِ ar-rajuli
3. Sifat dari Pemilik : الكبير al-kabiiri
4. Sifat dari Objek: جميلٌ - jamiilun

Dari keterangan diatas kita bisa pelajari bahwa, susunan (Objek+Pemilik Objek)rangkaian ini menjadi kata majemuk (mudhof), dimana bisa diterjemahkan sebagai Objek "OF" Pemilik Objek.

Dalam contoh diatas:
بيتُ الرجلِ - baytul rajuli -- house of the man -- rumah milik laki-laki itu

Adanya tambahan al-kabiiri الكبير - disini menjadi sifat dari the man Al-Rajul. Tahunya dari mana? Entar dulu, kok bisa tahu sih? Jawabnya: Karena sama-sama ada AL (lihat AL-Rajuli & AL-Kabiiri) alias sama-sama definitif/ma'rifah, dan sama-sama ber-i'rob (harokat akhir) kasroh [yaitu rajulI dan kabiirI). Sehingga menjadi:

الرجلِ الكبيرِ - al-rajuli al-kabiiri (laki-laki yang besar itu)

Karena 2 faktor itu (sama i'rob, dan sama ma'rifah) --> dipastikan kabiir itu sifat dari rajul.

Akan tetapi kalau i'rob beda:

الرجلِ الكبيرُ - Al-Rajuli Al-Kabiiru --> karena i'rob kabiir adalah dhommah (kabiiru), berbeda dengan rajul yang kasroh (rajuli) --> maka kabiir disini bukan sifat dari rajul lagi. Jika ini kasusnya maka kabiir menjadi sifat dari baitu (rumah).

Sehingga kalau ditulis:
بيتُ الرجلِ الكبيرُ - baytu al-rajuli al-kabiiru
The house of the man is big. Rumah milik laki-laki itu besar.

Disini kabiir berfungsi sebagai sifat dari rumah, bukan laki-laki lagi.

Terlihat bahwa pengetahuan mengenai i'rob menjadi penting dalam menentukan fungsi dan kedudukan suatu kata. Kita sudah lihat dengan merubah i'rob kabiir, dari kabiiri menjadi kabiiru, maka dia berubah fungsi, yang awalnya sebagai sifat dari Pemilik Objek (the man), menjadi sifat objeknya (the house). Itulah inti pelajaran nahwu. Makanya isinya pelajaran nahwu, itu adalah mengetahui i'rob. Karena beda i'rob, maka beda arti.

Saya pernah dikasih kuiz oleh teman saya namanya Habib Fahmi. Coba menurut antum kata-kata dalam surat 6 ayat 123, yaitu أكابر مجرميها - akaabira mujrimiiha:
a. Penjahat-penjahat yang terbesar
b. Pembesar-pembesar Penjahat

Saya jawab: b. Alasan saya, karena kata akaabira mujrimiiha itu adalah kata majemuk, dimana:

mudhof (Objek): akaabira = pembesar-pembesar
mudhof ilaih (Pemilik Objek): mujrimiiha = (pen)jahat

Saya bilang ke teman saya, fokus nya adalah Objeknya dong: yaitu pembesar-pembesar.

Lalu teman saya itu mengatakan: Antum kayaknya salah. Coba check Quran terjemahan. Disitu diterjemahkan: Penjahat-penjahat terbesar. Saya check di Al-Quran digital di komputer saya, eh bener begitu diterjemahin, sbb:

6:123. Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.

Hhmm saya sungguh penasaran. Lalu setelah memeriksa beberapa kitab tafsir (seperti Ibnu Katsir, dll), memang jelas bahwa yang dimaksud atau dituju oleh ayat itu adalah pembesar-pembesar (penguasa negeri atau raja-raja -red). Artinya terjemahan bebasnya: Pembesar-Pembesar Penjahat.

Kalau dipakai kaidah "OF/milik dari", maka bisa jadi artinya, pembesar2x milik penjahat, raja-raja milik penjahat. Ini bisa bermakna 2 hal(maaf ini ta'wil saya saja, tidak ada landasan ilmiahnya), 1) raja-raja milik penjahat, artinya raja suatu negeri yang sudah dikuasai oleh penjahat, atau raja suatu negri yang sudah bersekongkol dengan penjahat, atau 2) kelompok penjahat yang memiliki ketua. Jika arti kedua ini yang dipakai, maka sesungguhnya, terjemahan dari versi Quran yang banyak beredar tidak masalah. Karena antara penguasa suatu negri, tidak ada kaitan dengan ketua penjahat.

Masalahnya, kalau artinya yang pertama? Jika arti yang pertama, maka bisa berabe juga. Karena dengan pengertian ini terkandung makna, pembesar-pembesar (raja suatu negri), punya potensi berbuat yang tidak baik, sehingga menjadi penjahat. Sehingga dia dinobatkan sebagai raja (negeri itu) plus sekalian raja penjahat. Dalam kasus ini, raja itu sekaligus penjahat (beda dengan yang tadi, antara raja dan penjahat, dua orang yang berbeda).

Dengan model terjamah letterleijk (pakai kaidah Mudhof+Mudhof Ilaih), ayat itu menjadi sbb:

6:123. Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri Pembesar-pembesar (raja2x) Penjahat, agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.

Allahu a'lam. Saya tidak ingin menta'wil terlalu jauh. Lagi pula, kita hanya membahas masalah kaidah penerjemahan mudhof, kan... Yang ingin saya sampaikan, pengetahuan mengenai mudhof ini membantu "menajamkan" terjemahan yang pas. Lihat bahwa dalam kasus 6:123 diatas, dengan menggunakan kaidah mudhof ini, lebih mendekati kepada apa yang tertulis dalam kitab-kitab tafsir tentang ayat ini. Allahu a'lam (bisa jadi saya salah).

Oke, sampai disini dulu ya... Insya Allah kita akan lanjutkan.

Selasa, 25 Desember 2007

Topik 68: Mengulang Mudhof Ilaih

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan membahas mengenai surat An-Nashr. Baiklah kita mulai.

إذا جاء نصر الله والفتح - idza jaa-a nasru allahi wa al-fathu

idza: jika
jaa-a: telah datang
nasrullahi: pertolongan Allah (Help of Allah)
wa: dan
al-fathu: kemenangan (victory)

Pembaca yang dirahmati Allah, ada yang perlu kita ulang-ulang disini yaitu bentuk dari Mudhof Ilaih. Sudah kita singgung di beberapa topik yang lalu, akan tetapi kita ulang lagi disini, biar lebih mantafff getoh...

Oke. Perhatikan kalimat diatas. Pertama, kita analisis dulu struktur kalimatnya. Oke, kalimat diatas terdiri dari kata penghubung idza (إذا). Sekarang kalau kita buang kata idza kalimat tersebut akan menjadi:

جاء نصر الله والفتح - jaa-a nasrullahi wa al-fathu

Disini kita bertemu dengan kalimat fi'iliyyah (jumlah fi'liyyah). Eh ngomong2x kita pernah bahas gak ya pembagian kalimat (aqsam al-jumlah) dalam bahasa Arab? Belum atau sudah ya (maaf saya lupa, maklum udah umuran).

Hmm anggaplah belum ya. Oke. Dalam bahasa Arab, kalimat dibagi 2, yaitu:
1. Jumlah Fi'liyyah (kalimat yang dimulai kata kerja)
2. Jumlah Ismiyyah (kalimat yang dimulai dengan kata benda)

Nah kalimat جاء نصر الله والفتح - jaa-a nasrullahi wa al-fathu , ini adalah kalimat fi'liyyah, karena dimulai dengan Kata Kerja, yaitu KKL jaa-a (datang). Siapa yang datang? Ingat setiap fi'il (Kata Kerja) membutuhkan fa'il (pelaku alias subjek). Subjeknya biasanya setelah fi'ilnya.

Kalimat diatas subjeknya adalah نصر الله والفتح - nasrullahi wal fathu. Itulah subjeknya.

Secara umum banyak pola kalimat dalam bahasa Arab, dimana dia dibentuk dari jumlah fi'liyyah. Contohnya:

ضرب زيدٌ - dhoroba zaidun : Zaid telah memukul (jumlah fi'liyyah)

Agak sedikit beda dengan bahasa kita. Kalau kita letterleijk menerjemahkan kalimat diatas, maka mestinya, di terjemahkan "Telah memukul (sesuatu) si Zaid". Bedanya adalah dalam bahasa Indonesia, struktur kalimat itu diawali dengan Pelaku diikuti kata kerja. Sehingga kalau mengikuti ini kalimat diatas menjadi:

زيدٌ ضرب - Zaidun dhoraba : Zaid telah memukul (jumlah ismiyyah).

Perhatikan bahwa Kalimat diatas telah berubah menjadi jumlah ismiyyah. Dalam bahasa Indonesia kita tidak memiliki "kebebasan" seperti dalam bahasa Arab diatas.

Contohnya:

Zaid menulis --> (betul secara bahasa Indonesia). Dalam bahasa Arab: زيدٌ كتب - Zaidun kataba.

Menulis Zaid --> (salah secara bahasa Indonesia). Sedangkan dalam bahasa Arabnya tetap benar, yaitu كتب زيدٌ - kataba zaidun.

Disitu letak bedanya. Di bahasa Arab, posisi subjek boleh sebelum kata kerja, atau setelahnya.

Oke. Kembali ke topik utama... Kita mau bahas mengenai Mudhof Ilaih.

Perhatikan kata نصرُ اللهِ - nashru Allahi (dibaca cepat nashrullohi). Inilah dia mudhof (kata majemuk). Pas belajar ini saya sendiri juga rada bingung dengan definisi kata majemuk. Oke, tinggalkan yang susah, ambil yang mudah, pakai cara saya saja. Hehe...

Paling gampang belajar mudhof ini kalau kita mengerti struktur bahasa Inggris, tentang kepunyaan.

Misal kita katakan begini.

Umar's book (buku milik si Umar). Bisa kita jadikan dalam bentuk "OF", yaitu:

book of Umar (buku milik si Umar).

Nah bentuk: book of Umar ini lah yang disebut Mudhof, dalam bahasa Arab.

Contoh lain:

Allah's messenger (Rasul milik Allah / Rasul Allah). Bisa kita jadikan dalam bentuk "OF", yaitu:

Messenger of Allah.

Bagaimana bahasa Arab nya : Messenger of Allah?

Oke.

Messenger : رسولٌ - rasuulun
Allah: اللهُ - Allahu

Sehingga messenger of Allah = رسولُ اللهِ - Rasuulullahi.

Hmm... bentar-bentar kok bukan: رسولٌ اللهُ - Rasuulun Allahu (atau Rasuulullahu)?

Nah disini aturannya muncul (weleh aturan lagi... aturan lagi). Tenang, banyak latihan saja. Aturan gak usah dihafalin.

Kata rasuulun disebut mudhof, sedangkan kata Allahu disebut mudhof ilaih. Aturannya, Mudhof itu tidak boleh bertanwin, sehingga rasuulun harus dhommah saja menjadi rasuulu. Trus, mudhof ilaihi itu harus kasroh. Sehingga Allahu menjadi Allahi. Udah deh, cuman 2 itu aturannyanya... gampang kan.

Contoh lain:
baytun : rumah = house بيتٌ
Allahu : Allah

house of Allah (rumah Allah)? --> baitu Allahi (baitullahi) بيتُ اللهِ

Contoh lain:
qolamun : pen = pena قلمٌ
al-ustaadzu : ustadz الأستاذُ

the pen of ustadz (pena ustadz)? --> qolamu al-ustaadzi (qolamul ustaadzi) قلمُ الأستاذِ

Nah dalam surat An-Nashr ini ada contoh lain:
Help of Allah.
Help = nashrun نصرٌ

Sehingga Help of Allah نصرُ اللهِ - nashru Allahi (atau nashrullahi) : pertolongan Allah.
Demikian seterusnya. Kita telah ulang-ulangi topik mengenai mudhof ilah ini, semoga dengan diulang-ulang tambah jelas ya. Insya Allah, kita akan bahas mengenai adverb pada topik setelah ini.

Topik 67: Latihan Surat An Nashr

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan memasuki latihan surat Pendek yang baru yaitu surat An-Nashr (pertolongan). Surat ini sengaja saya pilih, karena ada beberapa kaidah bahasa Arab yang menarik untuk dipelajari atau diulang-ulang. Diantaranya topik mengenai mudhof ilaih (kata majemuk), mashdar, isim haal (adverb), dan lain-lain.

Surat An-Nashr ini dalam dalam pembahasan ilmu Tafsir, sering diangkat sebagai contoh, bahwa Tafsir Al-Quranul Karim itu sudah ada di zaman Shahabat RA. Tafsir Al-Quran yang paling awal ada pada zaman Rasulullah SAW masih hidup. Shahabat RA, jika tidak tahu pengertian suatu ayat, maka para shahabat RA bertanya ke Rasulullah SAW. Rasulullah SAW kemudian menjelaskan maksud ayat yang ditanya. Penjelasan Rasulullah SAW itu terekam dalam kitab-kitab Hadist.

Generasi Tafsir selanjutnya adalah, Tafsir Shahabat.

Diceritakan dalam Shahih Bukhori:

Ibnu Abbas RA, berkata: Umar biasa membawa saya dalam perkumpulan jamaah mantan tentara-tentara perang Badar. Akan tetapi, ada seseorang yang seakan-akan tidak senang dengan kehadiran saya dalam perkumpulan itu. Orang itu kemudian berkata: "Umar, mengapa engkau membawa anak kecil ini yang seumuran anak-anak kita(waktu itu Ibnu Abbas masih kecil -pen), berkumpul bersama kita?". Lalu Umar berkata: "Sungguh, anak ini salah seorang yang kalian telah kenal".

Suatu hari Umar mengundang mereka, dan saya, untuk duduk bersama-sama dalam satu majelis. Dan saya tidak mengira, dia tidak mengundang saya, kecuali hanya bermaksud untuk memperlihatkan saya kepada mereka. Lalu Dia berkata: "Apa pendapatmu mengenai firman Allah berikut:
إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ

(bila datang pertolongan Allah dan kemenangan)

Lalu beberapa orang dari mereka berkata: "(Ayat itu maksudnya) Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan mencari pengampunannya, pada saat kita diberikan pertolongan dan kemenangan". Beberapa orang yang lain diam saja, tidak berkata apa-apa. Lalu Umar berkata ke saya: "Betul begitu yang engkau katakan, ya Ibnu Abbas?". Lalu aku jawab: "Tidak". Dia kemudian bertanya: "(kalau begitu) Apa yang kamu katakan?". Lalu saya jawab: "Itu adalah masa akhir kehidupan Rasulullah SAW yang Allah SWT menginformasikan ke Beliau SAW. Allah berfirman: Jika datang pertolongan Allah dan kemenganan, itu berarti tanda-tanda dari akhir hayatmu (akhir hayat Rasulullah SAW-pen).

Maka bertasbihlah dengan memuji nama Tuhanmu, dan minta ampunlah, sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.

Kemudian Umar bin Khattab berkata: "Aku tidak tahu (penafsiran lain-pen) selain yang engkau sebutkan itu".

Demikian, kutipan dari Tafsir Ibnu Katsir.

Sebagian ulama tafsir, menjelaskan pengertian yang dibawa oleh Shahabat Ibnu Abbas RA diatas adalah ta'wil ayat.

Maka jelas bagi kita bahwa Tafsir Al-Qur'an (maupun ta'wil) itu telah ada sejak zaman permulaan Islam sejak diturunkannya Al-Quran itu sendiri.

Adapun asbabun nuzul (sebab turun surat An-Nashr ini), dari riwayat Abburrazaq diceritakan bahwa ketika Rasulullah saw. masuk kota Makkah pada waktu Fathu Makkah, Khalid bin Walid diperintahkan memasuki Makkah dari jurusan dataran rendah untuk meggempur pasukan Quraisy (yang menyerangnya) serta merampas senjatanya. Setelah memperoleh kemenangan maka berbondong-bondonglah kaum Quraisy masuk Islam. Ayat ini (S.110:1-3) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk memuji syukur dengan me-Maha Sucikan Allah atas kemenangannya dan meminta ampunan atas segala kesalahan.

Demikianlah secara singkat penjelasan mengenai surat An-Nashr ini. Kita insya Allah akan masuk dengan latihan.

Selasa, 18 Desember 2007

Topik 66: KKS Nashob

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita dalam topik ini akan masuk membahas bentuk KKS Nashob. Loh apa lagi nih?

Begini. Kemaren kita sudah kasih contoh:

أحب أن تلبس هذا اللباس - uhibbu an talbasa hadza al-libaas : saya senang Anda memakai baju ini.

Nah, bentuk تلبسَ - talbasa itu adalah bentuk KKS Nashob dari تلبسُ - talbasu. Secara arti tetap sama. Talbasa dan Talbasu artinya: memakai (mengenakan - pakaian). Kenapa ada bedanya?

Jadi ceritanya begini. Asal dari KKS itu adalah KKS Rofa'. Nah bentuk dari KKS Rofa' diatas dapat berubah menjadi 2 bentuk:
- KKS Nashob
- KKS Jazm

Hmm... agak membingungkan... It's ok. Intinya ingat saja bahwa, satu KKS itu, dia berubah bentuk menjadi KKS Nashob atau KKS Jazm, jika ada kata pengubahnya (yang disebut Amil, yaitu Amil Nashob dan Amil Jazm).

Dalam kalimat diatas, kata talbasu, berubah menjadi talbasa karena ada Amil Nashob, yaitu AN أن.

Nah Amil Nasho lain, yaitu لن - lan : tidak akan (never)

Kata diatas kita bisa coba ganti AN dengan LAN

أحب لن تلبس هذا اللباس - uhibbu lan talbasa hadza al-libaas : saya senang Anda tidak pernah memakai baju ini (I love that you never wear this dress).

Perhatikan bahwa LAN juga membuat KKS yang awalnya Rofa' (talbasu), menjadi Nashob (talbasa).

Di Quran contohnya sbb (Al-Baqaroh:55):

وإذ قلتم يا موسى لن نؤمن لك حتى نرى الله جهرة - wa idz qultum yaa Musa lan nu'mina laka hattaa nara Allaha jahrah : dan ingatlah (ketika) kalian berkata "yaa Musa, kami tidak akan beriman kepada mu, sampai kami melihat Allah".

Perhatikan bahwa kata nu'minu berubah jadi nu'mina.

نؤمنُ لك - nu'minu laka : kami beriman kepada mu
لن نؤمنَ لك - lan nu'mina laka: kami tidak akan pernah (never) beriman kepada mu.

KKS Rofa' (nu'minu) berubah menjadi KKS Nashob (nu'mina).

Amil lain adalah hatta (sampai). Contohnya ada di surat Al-Baqarah:120.

حتى تتبعَ ملتهم - hatta tattabi'a millatahum : sampai kamu mengikuti millah mereka

Perhatikan bahwa karena ada hatta, kata tatabi'u (KKS Rofa') berubah menjadi tattabi'a. Asalnya sbb:

تتبعُ ملتهم - tattabi'u millatahum : kamu mengikuti millah mereka.

Demikian contoh-contoh dapat kita berikan.

Kesimpulannya: sebuah kata KKS dapat berubah dari Rofa' (kondisi asal) menjadi KKS Nashob, karena adanya huruf 'amil antara lain : AN (أنْ), LAN (لنْ), atau HATTA (حتى).

Insya Allah, kita akan kembali latihan surat-surat pendek, pada topik-topik berikut ini.

Minggu, 16 Desember 2007

Topik 65: An si Jembatan

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Karena ada sedikit waktu luang, saya coba sisipkan satu materi mengenai أنْ - an. Saya kasih judul An si Jembatan. Hehe...

Kenapa disebut Jembatan?

Nah gini... Itu istilah saya saja ya... gak akan ditemukan di buku-buku bahasa Arab lho...

Fungsi AN.

An itu berfungsi layaknya jembatan pada 2 kata kerja. Jadi ceritanya, biasanya kalau kata kerja sesudahnya membutuhkan kata benda.

Misalkan:

Saya suka sama pakaian Anda - I love your dress

أحب لباسك - uhibbu libaasaka

Nah perhatikan polanya:

Uhibbu: adalah kata kerja (fi'il mudhori' - KKS). Setelahnya adalah Libaasaka (isim - kata benda)

Nah gimana kalau saya berkata begini:

Saya suka kamu pakai baju ini - I love (that) you wear this dress

أحب أن تلبس هذا اللباس - uhibbu an talbasa hadza al-libaas

Perhatikan. Mestinya talbasu (You Wear), tapi berobah menjadi talbasa, karena kemasukan An (kita akan perdalam mengenai masalah ini di topik 66, Insya Allah).

Ada 2 kata kerja. Padahal setelah kata Uhibbu (I Love), maka kata ini mengharapkan Isim (Kata Benda). Jadi mestinya begini:

أحب تلبس هذا اللباس - uhibbu talbasu hadza al-libaas

Perhatikan bahwa, dua kata kerja yang berdekatan, ini janggal (bisa dikatakan menyalahi aturan). Ada 2 kata kerja yaitu uhibbu (I love), dan talbasu (You wear), yang berdekatan. Ini gak boleh fren... So, solusinya gimana?

Ini dia solusinya: Kasih saja AN أنْ diantara ke dua kata kerja tersebut. Sehingga kalimatnya menjadi:

أحب أن تلبس هذا اللباس - uhibbu an talbasa hadza al-libaas

Gitu mak cik...

Contoh-contoh di Qur'an cukup banyak. Ambil saja akhir surat Yasin (yang Insya Allah, Bapak2x kita banyak yang hafal surat Yasin ini).

إنما أمره إذا أراد شيئا أنْ يقولَ له كن فيكون - innamaa amruhu idzaa araada syai-an an yaquula lahu kun fayakun - Sesungguhnya kedaannya jika Dia menghendaki sesuatu, hanyalah Dia berkata kepadanya : "jadilah", maka jadilah ia.

Perhatikan bahwa sesudah kata araada (menghendaki) memang ada kata benda syai-an, maka setelah syai-an itupun harus kata benda, sebagai keterangan pelengkap bagi syai-an. Masalahnya adalah setelah syai-an itu ada yaquulu (Dia berkata). Ini adalah fi'il. Masalah kan?

Solusinya adalah, diberikan AN didepan fi'il tersebut. Sehingga menjadi An yaquula (ingat yaquulu, kemasukan An, berubah menjadi yaquula).

Hukumnya gimana?

Oke, kalau kata kerja kemasukan An didepannya maka An+Kata Kerja tersebut, dihukumi sebagai Kata Benda.

Demikian, semoga menjadi jelas ya, kalau ketemu AN di dalam Al-Quran, atau text bahasa Arab, maka itu untuk "membendakan" kata kerja setelahnya.

Kita bisa bikin contoh lain.

I want to (go to) terminal: Saya ingin ke terminal

أريد إلي المحطة - uriidu ila al-mahaththah

Perhatikan setelah uriidu (saya ingin), ada kata JER+MAJRUR. JER=ilaa (ke) MAJRUR=Mahaththah (terminal). Ingat lagi hukum JER+MAJRUR = Isim. Sehingga kalimat diatas gak masalah.

Kalau kalimat diatas saya ubah:

أريد أذهب إلي المحطة - uriidu adzhabuu ila al-mahaththah

Perhatikan ada 2 kata kerja yang berdekatan (uriidu = saya ingin) dan (adzhabu = saya pergi). Ini masalah. Maka perlu disisipkan AN, sehingga menjadi:

أريد أن أذهبَ إلي المحطة - uriidu an adzhaba ila al-mahaththah : saya ingin (bahwa) saya pergi ke terminal.

Nah kalimat ini sudah ok, karena sudah di jembatani oleh An.

Demikian, penjelasan mengenai AN.

Allahu A'lam.

Sabtu, 08 Desember 2007

Topik 64: KKT-4

Bismillahirrahmanirrahim

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan segera mengakhiri latihan surat Al-‘Ashr ini. Sengaja surat ini saya pilih, karena banyak pelajaran bahasa Arab yang kita bisa dapatkan. Oke sebelum masuk ke penggalan terakhir ayat 3 surat Al-‘Ashr, kita ingat-ingat lagi apa saja yang kita sudah pelajari dalam surat Al-‘Ashr ini.

Oke, kita sudah bahas, ciri-ciri waw dalam kedudukan sumpah (waw qosam). Wal ‘ashri. Demi masa. Demi disitu adalah waw dalam kedudukan sumpah.

Kemudian kita membahas panjang lebar penggunaan Inna, dan saudara-saudara Inna. Dimana kita bahas bahwa Inna itu menashobkan mubtada, dan merofa’kan khobar. Innal insaana (insan, dalam harokat nashob / fathah). Karena Inna ini belawanan secara tugas/fungsi dengan Kaana, maka kita bahas juga mengenai fungsi dan peranan Kaana.

Kemudian kita bahas juga mengenai Illa, dan macam-macam kemungkinan pemakaian kata Illa. Terakhir kita bahas mengenai ciri kata kerja lampau (KKL) untuk jamak yaitu dengan adanya huruf waw alif. Dan kita bahas juga mengenai kata shoolihaat, yaitu mengenai aturan Jamak Muannats Salim.

Sampailah kita pada penggalan terakhir surat Al-‘Ashr ini.

وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر – wa tawaashau bi al-haqqi wa tawaashau bi ash-shobri : dan mereka saling bernasehat dengan kebenaran (haq) dan mereka saling bernasehat dengan kesabaran

Apa yang kita akan pelajari? Disini kita akan membahas mengenai KKT-4. Hmmm... sound interesting... Ya, kita akan bahas KKT-4. Ingat kita sudah bahas KKT-1 dan KKT-2, serta KKT-8 (lihat lagi topik-topik terdahulu). Oke... kita singgung sedikiiiiit saja mengenai KKT-1 dan 2. KKT-1 contohnya أنزل – anzala : menurunkan, atau أكتب – aktaba: menuliskan, dll. Ciri KKT-1 yaitu ada tambahan alif dari KK Asli (3 huruf).

Sedangkan KKT-2, adalah KK Asli yang huruf ke duanya di tasydid. Contohnya: نزّل – nazzala : menurunkan, atau كتّب – kattaba : menuliskan. Atau علّم – ‘allama : mengajarkan, dll.

Sedangkan contoh KKT-8 adalah استغفر – istaghfara : minta ampun. Ciri-cirinya, ada tambahan alif sin ta.

Bagaimana dengan KKT-4? Eh, ntar dulu, kok KKT-3 nya gak kita pelajari? Hmm... Pada saatnya nanti kita akan singgung ya (revisi: KKT-3 sudah kita singgung pada contoh qotala: membunuh, dan qootala (ada tambahan alif): berperang). Sekarang kita bahas saja KKT-4... Oke?

KATA KERJA TURUNAN ke 4 (KKT-4)

Misalkan begini. Saya buat kalimat:

Umar bertanya: سئل عمر – sa-a-la Umar
Zaid bertanya: سئل زيد – sa-a-la Zaid
Laili bertanya: سئلت ليلي – sa-a-lat Laili

Nah kalau kita bayangkan mereka bertanya ke ustadnya, kita bisa mengatakan:

هم سئلوا – hum sa-a-luu : mereka bertanya.

Nah, kalau mereka itu saling bertanya kepada satu sama lain, maka kita mengatakan:

هم تسائلوا – hum tasaa-a-luu : mereka saling bertanya.

Kata تسائلوا – tasaa-a-luu, adalah KKL KKT-4, sedangkan bentuk KKS KKT-4 nya adalah

هم يتسائلون – hum yatasaa-a-luun: mereka saling bertanya.

Nah, kira-kira kebayangkan apa itu KKT-4.

Kita kasih contoh lain ya, KKT-4 itu dalam surat An-Naba’ ayat 1.

عمّ يتسائلون – ‘amma yatasaa-a-luun : tentang apa mereka saling bertanya.

Perhatikan kata عمَ – ‘amma, asalnya adalah:

عن = tentang
ما = apa

Jika digabung, alif pada maa hilang sehingga menjadi عمّ – ‘amma. Nah يتسائلون – yatasaa-a-luun :mereka saling bertanya, adalah KKT-4 dari سئل sa-a-la.

Apa esensinya? Perhatikan bahwa KKT-4 ini dipakai untuk menjelaskan suatu kata kerja yang dilakukan oleh beberapa orang dalam makna saling (saling berinteraksi).

Contoh di surat Al-‘Ashr ini juga begitu. Lihat kembali:

وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر

Kata تواصوا – tawaashaw, diatas adalah KKL KKT-4 dari kata وصى – washaa : dia menasehati, atau وصوا – washaw : mereka menasehati. Nah kalau “mereka saling menasehati”, kita tambahkan awalan ت dan sisipan ا , sehingga menjadi تواصوا – tawaashaw.

Contoh lain dari KKT-4 ini ada di surat Al-Muthaffifin (83) ayat 30

وإذا مرَوا بهم يتغامزون – wa idzaa marruu bihim yataghaamazuun : Dan apabila (orang-orang yang beriman) lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedipkan matanya.

Lihat disitu kata يتغامزون – yataghaamazuun, adalah KKS KKT-4, sedangkan KKL KKT-4 nya تغامزوا – taghaamazuu. Ada tambahan ta diawal dan sisipan alif setelah gho. Yang artinya saling mengedipkan mata. Sedangkan kalau tambahan ta dan alif itu dibuang, maka artinya “mengedipkan mata” (tidak “saling mengedipkan mata”).

Demikianlah telah kita tuntaskan pembahasan surat Al-‘Ashr ini. Insya Allah kita akan lanjutkan dengan topik-topik lainnya.

Jumat, 07 Desember 2007

Topik 63: Jamak Muannats Salim

Bismillahirrahmanirrahim

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Pada topik ini kita akan bahas mengenai Jamak Muannats Salim. Apa itu?

Sebagaimana diketahui jenis kata benda dalam bahasa Arab ada 2, yaitu:
1. Mudzakkar (pria)
2. Muannats (wanita)

Pembagian tersebut berdasarkan sima’i (apa yang didengar) dari perkataan orang Arab. Contoh kata benda yang berjenis Mudzakkar:

البيت – al-baytu : rumah
الولد – al-waladu : anak laki-laki
الرجال – ar-rijaalu : laki-laki dewasa
الباب – al-baabu : pintu
الكتاب – al-kitaabu : buku
القلم – al-qolamu : pena
الفتى – al-fataa : pemuda

Semua kata benda diatas adalah kata benda berjenis mudzakkar. Dan semuanya adalah kata benda tunggal.

Bagaimana bentuk dual (dua buah/dua orang)? Oh ya, bentuk dual ini, saya baru tahu loh, ada. Karena selama ini hanya kenal bahasa Inggris dan Indonesia saja, saya kaget juga begitu tahu, ooo... ternyata di bahasa Arab ada bentuk dual. Dan bentuk dual ini, alhamdulillah, bukan sima’i (alias ada rumusnya). Rumusnya sederhana, tambahkan alif dan nun ( ان ). Sehingga kalau diterapkan di contoh-contoh diatas:

البيت – al-baytu : satu rumah, menjadi البيتان – al-baytaan : dua rumah
الولد – al-waladu: satu anak laki-laki, menjadi الولدان – al-waladaan : dua anak laki-laki
البنت – al-bintu : satu anak perempuan, menjadi البنتان – al-bintaan : dua anak perempuan (eh ngomong2x pulau bintan itu, apa ngambil dari bahasa Arab ya?)

Dan seterusnya. Nah bagaimana, bentuk 3 buah atau 3 orang atau lebih. Ini disebut jamak. Nah kata-kata diatas, bentuk jamaknya, susaaaaaah…. Harus diahafalin… wekk… Orang udah umuran kayak saya ini paling sukar ngafal hik hik… So, singkat kata, jamak mudzakkar itu ada 2 macam. Ada yang teratur (ada rumusnya), ada yang tidak teratur (tidak ada rumusnya, alias harus dihafal jek!!!)

Nah yang beraturan itu disebut: Jamak Salim. Sedangkan yang tidak beraturan disebut Jamak Taksir.

Contoh kata-kata diatas:
البيت – al-baytu : satu rumah. Banyak rumah? البيوت – al-buyuut : banyak rumah. (Ngomong-ngomong dibahasa kita bapaknya kakek disebut buyut, kan?)

Gimana aturannya dari baytu menjadi buyuut? Gak ada. Alias harus dihafal. Jadi singkat cerita, kalau bicara Jamak Mudzakkar, itu lebih kompleks fren... Kudu musti minum gingobiloba (obat vitamin otak -red)... hehehe... Sangking rada kompleks biasanya buku bahasa Arab, misahin dalam satu atau dua bab sendiri, untuk mbahas jamak mudzakkar ini.

Leh leh leh... BTW, kita kan harusnya ngomogin Jamak Muannats Salim (Jamak Perempuan Beraturan) ya...? Eh iya...ya... Kan kita lagi bahas surat Al-Ashr ayat 3...Oke oke... Kembali ke jalan yang benar...

Ingat lagi ayat 3 Surat Al-‘Ashr:

وعملوا الصالحات – wa ‘amiluu ash-shoolihaati

Nah kita sudah bahas kan, masalah waw alif pada kata ‘aamiluu. Sekarang kita bahas kata الصالحات – ash-shoolihaat: yang sholeh-sholeh. Ini adalah kata jadian dari kata kerja صلح – sholiha : sholeh (kata kerja). Lalu isim fai’il (kata kerja pelaku) dari kata sholih tersebut adalah: صالح -shoolihun: yang artinya yang sholih. Kata ini sebenarnya adalah kata shifat, yang setara dengan isim fa’il.

Oke, kita kembali:

الصالح - ash-shoolih: yang sholeh (tunggal)
الصالحان - ash-shoolihaan: dua yang sholeh
الصالحون – ash-shoolihuun : yang sholeh-sholeh – Jamak Mudzakkar Salim

Sekarang kalau kata الصالح – ash-shoolih jika berbentuk Muannats, maka perubahannya sbb:

الصالحة - ash-shoolihah: yang sholeh (tunggal)
الصالحتان - ash-shoolihataan: dua yang sholeh
الصالحات – ash-shoolihaat : yang sholeh-sholeh – Jamak Muannats Salim

Lihat bahwa membentuk Jamak Muannats Salim, sangat sederhana rumusnya. Apa itu? Huruf ta marbuthoh nya ( ـة) diganti menjadi ات . Contohnya:

مسلمة – muslimatun (bisa juga dibaca muslimah): 1 orang wanita muslim
مسلمات – muslimaatun (bisa juga dibaca muslimaat): banyak wanita muslim

الكرة – al-kurah : 1 buah bola
الكرات – al-kuraat : banyak bola

مسرورة – masruuratun : 1 wanita bahagia
مسرورات – masruuraatun : banyak wanita bahagia

شيارة – sayyarah : 1 buah mobil
شيارات – sayyaraat : banyak mobil

Dan banyak lagi kata-kata jamak muannats salim yang bisa dibuat. Intinya kalau bertemu dengan satu kata yang diakhiri dengan ta-marbuthah ةatau ـة maka dapat diduga itu adalah kata benda untuk muannats (wanita) tunggal. Jika ingin membentuk kata jamaknya maka tinggal diubah menjadi ات .

Dalam kalimat kita bisa buat sbb:

This is a car: هذه شيارة – hadzihi syayyaarah : ini sebuah mobil
These are two cars: هاتان شيارتان – haataani syayyaarataan : ini dua buah mobil
These are cars : هآألآء شيارات – haaulaa-i syayyaaraat : ini banyak mobil

Lihat bahwa kata benda penunjuk (isim isyaroh) mengikuti bentuk kata bendanya.

Jika kalimatnya kita buat panjang, artinya kata benda tersebut kita tambahkan lagi shifat, maka contohnya sebagai berikut.

This is the new ball: هذه الكرة الجديدة – hadzihi al-kuratu al-jadiidatu : ini sebuah bola baru.

Lihat juga bahwa shifat (الجديد – al-jadiid) juga mengikuti kata yang dia shifati. Karena kata al-kuratu (bisa dibaca al-kurah) adalah muannats, maka kata shifat nya juga harus muannats. Muannatst nya الجديد – al-jadiid, adalah الجديدة – al-jadiidah (atau al-jadiidatu). Lebih lanjut untuk dual dan jamaknya, sbb:

These are the two new balls: هاتان اكرتان الجديدتان – haataani al-kurataan al-jadiidataan: ini dua buah bola baru.

These are the new balls: هآألآء الكرات الجديدات – haaulaa-i al-kuraat al-jadiidaat : ini bola-bola baru.

Kembali ke topik kita tentang surat Al-Ashr ayat 3:

وعملوا الصالحات – wa ‘amiluu ash-shoolihaati : dan mereka mengerjakan (amalan) yang sholeh-sholeh.

Kita sebutkan ciri-ciri jamak muannats salim yaitu adanya huruf ات pada akhir kata benda tersebut.

Demikianlah telah kita bahas ayat 3 ini, dan kita segera masuk ke penggalan ke dua ayat ini yaitu وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر – wa tawaashaw bil-haqqi wa tawaashaw bish-shobri. Insya Allah.

Selasa, 04 Desember 2007

Topik 62: Lanjutan Latihan Surat Al-‘Ashr ayat 3

Bismillahirrahmanirrahim

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita telah membahas separoh dari ayat 3 surat Al-Ashr. Kita ulangi lagi ya.

إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات – illa alladziina aamanu wa ‘amilu ash-shoolihaat

Illa = kecuali
Alladziina = orang-orang yang
Aamanuu = (orang-orang yang) beriman
Wa = dan
‘aamilu = orang-orang yang beramal
Ash-shoolihaat = yang sholeh

Yang bisa kita pelajari adalah secara ringkas sbb:
1. Bila ada kata Inna .... Illa ..., maka pemberian Inna itu mendukung adanya pengecualian (dengan Illa).
2. Kita pelajari isim mashul, yaitu alladziina. Apa kedudukan dan fungsinya.
3. Kita akan sebutkan lagi ciri-ciri fiil madhy (KKL) untuk pelaku orang ketiga jamak, yaitu adanya waw alif
4. Kita akan pelajari bentuk jamak muannats salim (jamak perempuan beraturan).

Pembahasan 1 dan 2 sudah kita selesaikan pada topik 61. Pada topik ini kita akan bahas mengenai pembahasan 3 dan 4. Insya Allah.

Oke baiklah, kita mulai.

Ambil kata آمنوا وعملوا = (mereka) (telah) beriman dan (mereka) (telah) beramal. Kenapa saya tambahkan (mereka) dan (telah)? Karena kata tersebut menunjukkan pelakunya orang ke 3 jamak (mereka) dan kata kerjanya kata kerja lampau KKL. Sehingga paling pas ditambahkan "telah".

Kita ulang-ulang lagi mengenai jenis-jenis fi’il (verb) atau kata kerja. Dalam bahasa Arab fi’il hanya dibagi dua:
1. KKL (Kata Kerja Lampau) Fi’il Madhy
2. KKS (Kata Kerja Sedang) Fi’il Mudhori’

Kita ambil contoh yang sering kita pakai: to write (menulis) : كتب – يكتب : kataba – yaktubu

Kata KATABA-YAKTUBU itulah entri pertama yang kita lihat dalam kamus. Oh ya, bagi yang belum pernah melihat kamus bahasa Arab, dijamin akan bingung pada awalnya untuk mencari kata dalam kamus tsb. Perlu pembiasaan, dan keterampilan untuk mencari akar kata. Oh ya, akar kata dalam tulisan disini sering disebut juga KKL. Seperti to write (menulis) KKL nya adakah kataba كتب , maka kita cari di KAF ك . Hampir semua (atau sebagian besar) kata dalam bahasa arab, khususnya kata kerja dan kata benda terdiri dari akar kata (KKL) tiga huruf. Seperti to write (menulis), KKL nya كتب – kataba, dan KKS nya يكتب – yaktubu.

Oh iya ingat-ingat kembali bahwa kata kerja itu dalam bahasa Arab, aslinya kebanyakan berbentuk 3 huruf. Sedangkan dari kata kerja asli itu bisa kita bentuk KKT – Kata Kerja Turunan. Ada 8 jenis bentuk kata kerja turunan. Sehingga secara pola kata كتب - kataba itu bisa kita bentuk menjadi 8 bentuk kata kerja baru, yang kita sebut KKT-1, KKT-2, dst, sampai KKT-8.

Balik lagi ke fungsi kamus, dan cara membaca kamus bahasa Arab. Di kamus bahasa Arab, kata-kata disusun berdasarkan entri KKL dari Kata Kerja Asli. Contoh: kalau kita menemukan kata قاتل – qoo ta la, maka bagaimana cara mencari di Kamus?

Atau kalau kita menemukan kata ينزل – yunzilu, nah bagaimana cara mencari arti kata itu di Kamus?

Ini perlu latihan. Sekali lagi latihan. Apa? Latihan. Hehe... Ya, practice makes perfect, kan. Oke kalau kita lihat lagi contoh soal:

Kata قاتل –qootala, maka kita tahu bahwa ini adalah bentuk dari KKT-2 (artinya bukan Kata Kerja Asli, tapi KK Turunan). Lho-lho ntar dulu, kok Mas tahu ini KKT-2. Hmm ini sudah dijelaskan dulu rasanya. Tapi baiklah, mengulang-ulang pelajaran itu membuat lebih ingat. KKT-2 itu ada tambahan alif setelah huruf pertama dari KKL nya.

Kalau قاتل – qootala, adalah KKT-2, dan katanya KKT-2 itu ada tambahan alif, berarti alif dalam qootala itu adalah tambahan. Kalau saya buang maka dia berubah jadi KK Asli. Benar gak? Benar! Anda tepat sekali.

Dengan kata lain kata قاتل – harus dicari di entri قتل – qotala. Kalau ketemu, telusuri kata-kata dibawahnya, niscaya dikamus Anda akan bertemu entri قاتل – qootala, nah lihat deh tuh artinya apa. Kurang lebih di kamus urutannya spt ini:

قتل – qotala : membunuh

dibawah entri qotala itu akan ditemukan:

قاتل – qootala: berperang

Oke untuk anzala, lihat lagi topik2x yang lalu, sudah panjang lebar dibahas.Tapi saya ringkas saja, kalau mencari anzala أنزل jangan cari di ALIF أ, tapi carilah di huruf ن. Kenapa, karena alif itu huruf tambahan bagi KKT-1. Sama juga dengan mencari yunzilu ينزل - jangan cari di ي , karena ya itu tambahan bagi fi'il mudhori' (ingat tambahan YA ANITA di fi'il mudhori'). Ah... belum ngerti... oke... baca lagi dari topik 1 ya... pelan-pelan...

Kembali ke laptop… Kita kembali ke ayat :

آمنوا وعملوا - aamanuu ‘amiluu

Ini adalah ciri-ciri KKL yang akan sering kita temukan di dalam Al-Quran. Apa itu yaitu adanya waw alif. وا .

Eit bentar dulu. Huruf Waw Alif itu, tidak hanya mengindikasikan KKL lho... Setidaknya jika ketemu Waw Alif, maka itu hampir pasti Kata Kerja, dan bisa menjadi salah satu dari hal-hal berikut ini, yaitu dia:
1. KKL untuk orang ke 3 atau 2 jamak, atau
2. KKS untuk orang ke 3 atau 2 jamak yang kena huruf amil jazm
3. KK Perintah (fi’il amr) untuk orang ke 2 jamak
4. KKS untuk orang ke 3 atau 2 jamak dalam kalimat syarat jawab

Oke banyak buaaanget sih... puzinggg... Tenang-tenang... yang paling banyak itu adalah no.1. Jadi kalau ketemu kata yang akhirnya adalah waw alif, maka kita bisa duga dia adalah KKL untuk orang ketiga jamak. Contoh surat Al-'Ashr ayat 3 ini.

Contoh Kasus no. 2:

فليعبدوا رب هذا البيت - falya'buduu rabba hadzaa al-bayti (QS. 106:3)
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka'bah).

Perhatikan kata falya'budu itu asalnya sbb:
يعبدون - ya'buduuna = mereka menyembah (KKS)

Karena kemasukan amil jazm (huruf yang menjazmkan) yaitu لِ - li : hendaklah, maka kata itu berubah menjadi
ل + يعبدوا

atau menjadi ليعبدوا - liya'buduu = hendaklah mereka menyembah. Oh ya huruf LI (=hendaklah) ini dalam bahasa Arab disebut Harf LI AMR (huruf Li perintah, untuk orang 3 tunggal atau jamak).

So,lihat lagi contoh 1, 2 diatas, perhatikan lagi kata yang ada waw alif (وا ) di-akhir kata, maka dapat dipastikan itu adalah kata kerja kata kerja yang jika diterjemahkan mereka .... Tinggal dilihat jika depannya ada YA ANITA maka dia KKS. Tapi jika tidak ada YA ANITA seperti آمنوا وعملوا (aamanuu atau 'amiluu), maka kata itu adalah KKL (Kata Kerja Lampau), sehingga kalau mau nerjemahin letterlej: mereka (telah) beriman, mereka (telah) beramal.

Contoh Kasus no. 3:

اعيدلوا هو أكرب للتقوى - i'diluu huwa aqrabu littaqwaa (QS 5:8)
Berbuat adillah kalian, karena dia lebih dekat kepada taqwa.

Perhatikan pada kata i'diluu, ada waw alif disitu, menandakan dia kata kerja untuk orang ke 2 / ke 3 jamak. Dan lihat ada tambahan Alif Amr sebelum ain, menandakan ini Kata Kerja Perintah, untuk orang ke 2 (Ingat Alif Amr itu merujuk kepada perintah bagi orang ke 2, sedangkan LI AMR merujuk kepada orang ke 3 - lihat kasus no. 2).

Contoh Kasus no. 4:

فأينما تولوا فثم وجه الله - fa ainamaa tuwalluu fa tsamma wajhu allahi (QS 1:115)
Maka kemanapun kamu memalingkan mukamu, maka disana (ada) wajah Allah.

Perhatikan disini, ada kalimat syarat: kemanapun kamu memalingkan mukamu, dan ada kalimat jawab: maka disana (ada) wajah Allah.

Perhatikan bahwa asal katanya sbb:
تولون - tuwalluuna : kalian memalingkan, karena dalam posisi kalimat syarat, maka dia berubah menjadi: تولوا - tuwalluu

Atau contoh lain:
إن يجلسوا أجلسْ - in yajlisuu ajlis : jika mereka duduk, (maka) aku(pun) duduk.

Asal kalimatnya begini:
يجلسون أجلسُ - yajlisuuna ajlisuu : mereka duduk, saya duduk.

Kalau kita hendak mengatakan: jika mereka duduk, saya(pun) duduk, maka kedua Kata Kerja tersebut harus di Jazm-kan.

Perhatikan asalnya adalah يجلسون - yajlisuuna = mereka duduk, karena menjadi bagian dari kalimat syarat (jika mereka duduk), maka yajlisuuna, berubah menjadi يجلسوا - yajlisuu (ada waw alif nya). Dan kalimat jawabnya adalah أجلسْ - ajlis (maka sayapun duduk). Lihat kata ini JAZM, maka huruf terakhir harokatnya mati, sehingga dibaca ajlis (tidak boleh ajlisu).

Demikianlah sudah kita bahas dengan panjang lebar, apa faedah melihat adanya وا dalam di sebuah akhir kata. Dimana adanya waw nun ini, kita jadi tahu, itu adalah Kata Kerja untuk pelaku jamak (orang ke 3 atau orang ke 2). Sedangkan apakah dia KKL atau tidak tinggal dilihat, apakah ada tambahan-tambahan YA ANITA didepannya. Nah, yang terjadi disurat Al-'Ashr ayat 3 ini, ayat yang sedang kita latih, adalah kasus waw alif sebagai ciri dari Kata Kerja Lampau (KKL) / fi'il madhy, untuk orang ke 3 jamak (mereka).

Perubahan dari waw nun ون ke waw alif وا pada KKS, secara ringkas disebabkan 2 hal:
1. Kemasukan amil (huruf yang bertugas) menashobkan fi'il mudhory, seperti أن - an, حتى - hatta , dll
2. Kemasukan amil (huruf yang bertugas) menjazmkan fi'il mudhory, seperti لم - lam, ل - li (amr), لا - laa (laa nahi), dll

Selain dari hal itu, maka وا itu ada karena memang bagian dari KKL (bukan karena KKS yang kemasukan amil nashob atau amil jazm.

Bingung gak ya? Semoga gak ya... Next time saya akan usahakan deh mbahas yang mudah-mudah dulu...

Insya Allah topik selanjutnya kita akan bahas Jamak Muannats Salim (Jamak Perempuan Beraturan).

Senin, 26 November 2007

Topik 61: Latihan Surat Al-‘Ashr ayat 2 dan 3

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Setelah beberapa hari ini off, maka Insya Allah kita lanjutkan lagi pelajaran kita, dengan melanjutkan latihan surat Al-Ashr. Kita sudah pajang lebar membicarakan kaana, inna, anna, dan terakhir masalah mubtada dan khobar. Apa lagi yang kita akan pelajari? Sebenarnya masalah mubtada dan khobar masih ada kelanjutannya, tetapi kita pending dulu ya… Bosen juga kan, mending kita masuk ke latihan dulu…

Oke baiklah. Kita tuliskan ayat 2 surat Al-‘Ashr:

إنّ الإنسان لفي خسر

Kita sudah membahas Inna yang artinya : sesungguhnya.

Al-Insaana = insan (manusia)
La = sungguh
Fii = dalam
Khusrin = kerugian

Kalimat diatas bisa kita ringkas kan, dengan membuang Inna, dan lam taukid (lam penguat), menjadi:

الإنسانُ في خسر - al-insaanu fii khusrin : manusia itu dalam kerugian

Mubtadanya al-insaanu dan khobarnya fii khusrin. Hanya kalimat diatas kurang ada penekanannya, maka dimasukkanlah Inna dan La. Ingat bahwa dengan memasukkan Inna, maka mubtada al-insaanu berubah menjadi al-insaana.

Oke, itu tadi mengenai ayat 2. Sekarang kita masuk ke ayat 3 penggalan pertama.

إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات – illa alladziina aamanu wa ‘amilu ash-shoolihaat

Illa = kecuali
Alladziina = orang-orang yang
Aamanuu = (orang-orang yang) beriman
Wa = dan
‘aamilu = orang-orang yang beramal
Ash-shoolihaat = yang sholeh

Disini banyak sekali pelajaran yang akan kita petik. Insya Allah. Apa saja?

Yang bisa kita pelajari adalah secara ringkas sbb:
1. Bila ada kata Inna .... Illa ..., maka pemberian Inna itu mendukung adanya pengecualian (dengan Illa).
2. Kita pelajari isim mashul, yaitu alladziina. Apa kedudukan dan fungsinya.
3. Kita akan sebutkan lagi ciri-ciri fiil madhy (KKL) untuk pelaku orang ketiga jamak, yaitu adanya waw alif
4. Kita akan pelajari bentuk jamak muannats salim (jamak perempuan beraturan).

Wuih banyak juga ya. Padahal ini hanya penggalan pertama ayat 3 lho... Insya Allah kita akan tuntaskan pembahasannya dalam topik ini.

Oke, kita lihat yang pertama. Jika kita membaca ayat Al-Quran ada kata Inna .... Illa ... maka ayat tersebut menekankan bahwa sesuatu itu sungguh (inna) akan terjadi demikian, kecuali (illa) suatu kondisi. ”Sesungguhnya manusia itu sungguh dalam kerugian”, kecuali (kondisi).

Biasanya ayat ayat Al-Quran menggunakan illa dalam kondisi seperti ini:
Inna (kata benda + keterangan) Illa (kondisi)
Laa (kata benda + maujuudun) Illa (kondisi)
Laa (KKS) Illa (kondisi)
Maa (KKL) Illa (kondisi)

Contoh:
Inna Illa

فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ

karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam (Asy-syuara : 77)

Laa Illa

لا أستاذ إلا عمر – laa ustaadza illa Umaar (tidak ada Ustadz (yang hadir) kecuali Umar)

Laa Illa

لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali orang yang disucikan (Al-Waqiah:79)

Maa Illa

وَمَا أَضَلَّنَا إِلَّا الْمُجْرِمُونَ

Dan tiadalah yang menyesatkan kami kecuali orang-orang yang berdosa (Asy-syu’ara:99)

Oke saya rasa kita sudah cukup melihat contoh-contoh pemakaian Illa. Sekarang kita masuk ke topik berikutnya yaitu tentang isim maushul (kata penghubung).

ISIM MAUSHUL

Dalam bahasa Indonesia kata penghubung ini disebut kata sambung, dalam bahasa Arab contohnya الذي -alladzi dan الذين – alladziina. Terjemahan yang pas untuk kedua ini adalah: "yang" untuk alladzi dan "orang-orang yang" untuk alladziina. Bentuk lainnya banyak ada alladzaani (untuk 2 orang, atau 2 hal), allati (untuk yang – perempuan) dst.

Tapi yang banyak adalah alladzii dan alladziina.

Contohnya:
أنت مجتهد – anta mujtahidun : Anda orang yang ulet
أنت تدرسُ دائما – anta tadrusu daaiman: Anda senantiasa belajar

Jika digabung:
Anda yang senantiasa belajar adalah orang yang ulet.

أنت الذي يدرسُ دائما مجتهدٌ – anta alladzii yadrusu daaiman mujtahidun

Perhatikan bahwa kalimat pertama dan kalimat kedua jika digabung maka perlu isim maushul. Dalam bahasa Inggris, isim maushul ini sering kali adalah: that, which, who, dsb.

You are diligent.
You always study.

Digabung:

You who always study are diligent.

Shilah

Apa itu shilah? Shilah yaitu kata atau kalimat setelah isim maushul, yang jenisnya harus sama dengan jenis isim maushulnya. Contohnya:

Jika kita pakai alladzii, maka ini merujuk kepada orang ke-3 tunggal, maka shilahnya juga orang ke-3 tunggal. Lihat bedanya:

تدرسُ – tadrusu: belajar (orang kedua tunggal)
يدرسُ – yadrusu: belajar (orang ketiga tunggal)

Pada kalimat awal: kita pakai tadrusu. Tetapi tadrusu berubah menjadi yadrusu, karena dia terletak setelah alladzii. Yadrusu adalah shilah bagi alladzi.

Perhatikan lagi kalimat setelah digabung:

أنت الذي يدرسُ دائما مجتهدٌ – anta alladzii yadrusu daaiman mujtahidun : Anda yang senantiasa belajar adalah orang yang ulet.

Perhatikan dalam kalimat (yang panjang) diatas, mubtada nya anta, dan khobarnya adalah mujtahidun. Sedangkan alladzii yadrusu daaiman adalah pelengkap. Jadi terkadang kalimat yang panjang dalam bahasa Arab itu bisa kita "peras" menjadi hanya mubtada + khobar, sisanya adalah pelengkap kalimat saja. Mengetahui mubtada dan khobar ini akan membantu kita dalam menerjemahkan bahasa Arab al-Quran.

Insya Allah akan kita lanjutkan dengan pembahasan mengulagi fiil madhy dan bentuk jamak muannats salim.

Sabtu, 17 November 2007

Topik 60: Khobar Muqoddam

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita menyisakan pertanyaan pada topik 59, yaitu apa bahasa Arabnya:

A boy is in the house?

Mas… Kalau:

The boy is in the house, bahasa Arabnya: الولدُ في البيتِ – al-waladu fii al-bayti

Nah kan Mas pernah bilang, kalau kata benda yang belum diketahui, maka tinggal buang AL nya, sehingga al-waladu, buang al, menjadi waladun.

ولدٌ في البيتِ – waladun fii al-bayti

Secara umum sih iya. Anda betul sekali. Hanya saja, dalam bahasa Arab, adalah janggal (jarang dipakai, atau agak aneh), jika mubtada itu bukan kata benda yang tidak definitive (sudah diketahui).

Dalam bahasa Arab ada dua istilah: ma’rifah dan nakiroh.

ولدٌ – waladun : A Boy (seorang anak laki-laki) ini disebut nakiroh (umum, belum spesifik)

الولدُ – al-waladu: The Boy (anak laki-laki itu), ini disebut ma’rifah (jelas anak laki-laki mana yang dimaksud)

Nah kembali ke kalimat diatas:

ولدٌ في البيتِ – waladun fii al-bayti

Mubtada: waladun (nakiroh)
Khobar: fii al-bayti

Kalimat diatas jarang ditemukan, atau janggal. Lalu biar gak janggal gimana dong Mas? Nah orang Arab ada solusinya. Gimana tuh? Solusinya, Khobarnya dikedepankan (muqoddam). Sehingga kalimatnya menjadi:

في البيتِ ولدٌ – fii al-bayti waladun : A boy is in the house, atau bisa juga In the house, (there) is a boy.

Nah terlihat bahwa kadang khobar mengawali kalimat.

Dalam Al-Quran kita sering menemukan khobar muqoddam ini. Contohnya sudah pernah dibahas dulu dalam Surat Al-Baqoroh ayat 10.

في قلوبهم مرضٌ – fii quluubihim maradhun : dalam hati mereka ada penyakit. Atau lebih tepat sebenarnya: Penyakit (ada) dalam hati mereka. Tapi masalahnya karena penyakit itu bersifat general (umum) artinya bisa penyakit apa saja, maka tidak dipakai al-maradhu, tetapi maradhun.

Kalau penyakitnya itu jelas apa jenisnya, maka dipakai al-maradhu. Jika al-maradhu, maka kalimatnya (umumnya) mengikuti pola yang umum yaitu:

المرضُ في قلوبهم – al-maradhu fii quluubihim.

Perhatikan mubtada adalah maradhu (penyakit) sedangkan khobar adalah fii quluubihim (dalam hati mereka).

Dan perhatikan, karena mubtada’nya nakiroh (maradhu), sehingga tidak bisa diawal kalimat, yang akibatnya mubtada “mengalah” menjadi di-akhir kalimat. Jadilah dia menjadi: في قلوبهم مرضٌ – fii quluubihim maradhun : dalam hati mereka ada penyakit, atau Penyakit (ada) dalam hati mereka.

Allahu a’lam bish-showwab.

Topik 59: Jenis-Jenis Khobar

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kali ini kita akan menggali jenis-jenis khobar. Apa saja itu? Oke, kita mulai dengan contoh.

الطالبُ مجتهدٌ – at-thaalibu mujtahidun : Siswa itu rajin

Mana mubtada dan khobar nya? Gampang.

Mubtada: الطالبُ - ath-thaalibu : siswa itu
Khobar: مجتهدٌ – mujtahidun : rajin

Nah, topik kali ini kita akan singgung, apa saja jenis khobar, dan jenis mubtada. Oke perhatikan kalimat diatas.

Mubtada ath-thaalibu, adalah kata benda alam (isim alam)
Khobar mujtahidun, adalah kata benda sifat (isim shifat)

Apa saja jenis Mubtada lain? Jenis mubtada yang lain adalah kata-ganti (isim dhomir).

Kalimat diatas, bisa saya ubah.

The student is diligent: الطالبُ مجتهدٌ – at-thaalibu mujtahidun : Siswa itu rajin
He is diligent: هو مجتهدٌ – huwa mujtahidun : Dia rajin.

Nah dalam kalimat diatas, mana mubtada dan khobar?

Mubtada: huwa – dia
Khobar: mujtahidun – rajin

Itulah 2 bentuk / jenis mubtada’ yang umum dijumpai. Apa itu? Kita ulangi. Mubtada bisa berupa isim alam (nama orang, nama benda, profesi orang, dsb), atau kata ganti (saya, kamu, dia, mereka, dsb).

Ada lagi jenis yang umum juga untuk mubtada, yaitu kata benda penunjuk (isim isyarah). Contohnya: ini, itu.

Saya katakan sbb:

ذلك البيتُ – dzalika al-baytu: itu rumah. That is the house.
هذا ولدٌ – hadza waladun : ini seorang anak laki-laki. This is a boy.
هذا الولدُ – hadza al-waladu : ini seorang anak laki-laki itu. This is the boy.

Nah mubtada dalam tiga kalimat diatas adalah: dzalika (itu) dan hadza (ini). Sedangkan khobarnya adalah al-baytu (rumah [yang sudah diketahui oleh lawan bicara]), waladun (anak laki-laki [siapapun dia]), atau al-waladu (anak laki-laki [yang sudah diketahui oleh lawan bicara]).

Oke, kita tutup dengan kesimpulan. Mubtada, bisa terdiri dari (salah satu)
1. Isim alam (nama orang, nama benda, profesi, dsb)
2. Kata ganti (saya, dia, mereka, kamu, dsb)
3. Isim isyarah (ini, itu)

Sekarang kita beralih ke jenis-jenis Khobar.

Perhatikan lagi kalimat-kalimat diatas. Rata-rata khobar itu terdiri dari, isim shifat (seperti rajin, malas, besar, ganteng, dll), atau kata benda isim alam (seperti dalam kalimat “itu rumah”).

Sekarang saya kasih contoh, yang mungkin membuat kita bingung.

Apa bedanya:

هذا البيتُ كبيرٌ جديدٌ – hadza al-baytu kabiirun jadiidun

هذا البيتُ الكبيرُ جديدٌ – hadza al-baytu al-kabiiru jadiidun

Bedanya kalau dalam bahasa Inggris lebih terlihat, sbb:

هذا البيتُ كبيرٌ جديدٌ – This house is big (and) new : rumah ini besar (lagi) baru

هذا البيتُ الكبيرُ جديدٌ – This big house is new : rumah besar ini baru

Pada kalimat pertama, mubtada: this house, khobarnya big (and) new
Pada kalimat kedua, mubtada: this big house, khobarnya new

Oke, sampai disini, kita resume-kan, tentang khobar. Khobar dapat terdiri dari isim shifat, isim alam. Sekarang bentuk ke 3.

Bentuk ke-3 Khobar: JER MAJRUR

Oke apa lagi nih Mas? JER MAJRUR. Hehe… istilah ini sering dipakai dalam pelajaran bahasa Arab. Apa itu? Gampangnya saya kasih contoh begini.

dalam rumah: في البيتِ – fii al-bayti.

Ingat-ingat lagi pelajaran kita dulu-dulu banget, tentang huruf jer (kata depan). Contohnya في – fii (didalam), على – ‘alaa (diatas), من – min (dari), إلى – ilaa (ke), dst. Nah kata-kata ini disebut JER. Lalu MAJRUR apa? Majrur adalah kata benda setelah JER. Dalam contoh diatas Majrur nya adalah البيتِ – al-bayti. Lalu gabungan keduanya disebut kalimat JER MAJRUR.

Nah bentuk ke 3 dari khobar ini, dapat berupa jer majrur ini. Contohnya begini.

الولدُ في البيتِ – al-waladu fii al-bayti : The boy in the house – anak laki-laki itu dalam rumah.

Mana mubtada dan khobarnya? Mubtada, pastilah al-waladu. Dan khobarnya adalah JER MAJRUR yaitu fii al-bayti.

Oke ya, semoga yang diatas itu bisa dimengerti. Sekarang ada masalah nih.

Bagaimana kalau, di dalam rumah itu, anak laki-lakinya belum diketahui. Oh ya, sebelumnya, Anda pasti tahu kan apa bedanya dua kalimat ini:

The boy is in the house
A boy is in the house

Dalam kalimat kedua, anak laki-lakinya belum diketahui. Bisa anak siapa saja. Sehingga dipakai A Boy (waladun, bukan al-waladu). Sedangkan dalam kalimat pertama, anak laki-lakinya adalah sudah diketahui, misal Anaknya Bang Faisal, misalkan. Dalam kalimat pertama, karena Boy nya sudah diketahui maka dipakai The (atau al, sehingga menjadi al-waladu)

Dalam bahasa Arab, kedua kalimat itu sebagai berikut.

The boy is in the house : الولدُ في البيتِ
A boy is in the house : ???

Apa kira-kira yang akan Anda isi untuk ??? diatas. Jawabannya Insya Allah di topik selanjutnya. Ini masuk dalam Bab Khobar Muqoddam (khobar yang didahulukan). Baca topik selanjutnya.

Topik 58: Inna dan saudara-saudaranya

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita sebenarnya akan melanjutkan pembahasan surat Al-‘Ashr ayat 2. Sebagaimana telah disampaikan kita menghadapi Inna di awal ayat kedua ini. Pembahasan إنَّ sangat dekat dengan pembahasan mubtada dan khobar. Telah kita lihat bahwa pengetahuan mengenai mubtada dan khobar ini sangat penting. Karena yang mempengaruhi mubtada dan khobar itu ada dua kelompok:

كان dan saudara-saudaranya.
إنَّ dan saudara-saudaranya.

Nah, saudara-saudara kaana itu banyak. Saudara-saudara inna juga banyak, suatu saat kita akan ketemu. Tapi untuk sekedar contoh, saudara-saudara إنَّ itu ada 5, diantaranya لعل – la’alla, dan ليت – layta. Dua-duanya artinya semoga, dengan beda maksud. La’alla adalah harapan yang mungkin terjadi, sedangkan layta adalah harapan yang mustahil terjadi.

Contohnya:

زيدٌ عالمٌ – Zaidun ‘aalimun : Zaid adalah orang yang berpengetahuan

Jika kita tambahkan inna, menjadi:

إنَّ زيدً عالمٌ – Inna Zaidan ‘aalimun : Sesungguhnya Zaid adalah orang yang berpengetahuan

Nah kita bisa mengganti inna dengan la’alla atau layta:

لعل زيدً عالمٌ – la’alla Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

ليت زيدً عالمٌ – layta Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

Perhatikan fungsi la’alla dan layta, sama dengan fungsi inna, yaitu menashobkan mubtada dan merafa’kan khobar. Lihat bahwa Zaidun (rofa’) setelah kemasukan inna, atau saudara-saudara inna (spt. La’alla dan layta), maka mubtada itu jadi nashob (dari Zaidun berubah menjadi Zaidan).

Perhatikan beda la’alla dengan layta diatas. Kalimat pertama, kemungkinan besar terjadi.

لعل زيدً عالمٌ – la’alla Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

Misalkan tampak Zaid itu memang anaknya rajin, sehingga kemungkinan dia jadi orang alim, sangat besar.

Nah beda halnya dengan kalimat kedua. Misalkan telah diketahui umum bahwa Zaid itu anaknya idiot. Maka mengharapkan Zaid menjadi orang yang berilmu, tentu sia-sia, alias mustahil. Maka la’alla tidak tepat digunakan. Tetapi yang digunakan adalah layta.

ليت زيدً عالمٌ – layta Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan --> yang tidak mungkin terjadi, karena Zaid idiot, misalkan.

Atau seperti saya katakan:

ليت النارَ باردةٌ – layta an-naara baaridatun : semoga api itu dingin

Mengharap sifat api jadi dingin tentu mustahil. Makanya kita pakai layta.

Oke apa pelajaran yang kita dapatkan di topik ini? Ya, kita sudah lihat bahwa teman-teman inna itu cukup banyak, ada 5 (saya baru sebut 2 kan, yaitu la’alla dan layta). Teman-teman kaana juga banyak. Nah akan sangat untung kita, kalau kita tahu apa tugas kaana (dan saudara-saudaranya) dan apa tugas inna (dan saudara-saudaranya).

Oke, satu lagi, saudara Inna adalah Anna (hehe berarti saya sudah kasih tahu 3 ya).

Oke Anna sama dengan Inna, secara fungsi dan arti. Bedanya apa? Bedanya, kalau Inna ada diawal kalimat, kalau Anna ada ditengah kalimat.

Contohnya:

Saya paham, sesungguhnya Zaid itu orang yang berilmu.

فهمتُ أنَّ زيدً عالمٌ – fahimtu anna Zaidun ‘aalimun : saya paham, sesungguhnya Zaid itu orang berilmu.

Perhatikan bahwa awal kalimatnya adalah fahimtu (saya paham). Karena Inna tidak diawal kalimat, maka dia berubah menjadi Anna.

Oh ya terkadang dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, karena anna terletak di tengah kalimat, maka dia sering diterjemahkan dengan “bahwasannya”, sehingga contoh diatas menjadi:

فهمتُ أنَّ زيدً عالمٌ – fahimtu anna Zaidun ‘aalimun : saya paham, bahwasannya Zaid itu orang berilmu.

Oke, topik mengenai mubtada dan khobar ini masih belum selesai. Insya Allah kita akan lanjutkan dengan jenis-jenis khobar (prediket).

Kamis, 15 November 2007

DARI QATAR SAMPAI TURKI

Alhamdulillah, perasaan senang saya haturkan kepada para pembaca sekalian. Adalah suatu kesenangan tersendiri bagi seorang penulis, jika tulisannya dibaca. Latar belakang saya menulis, adalah sharing. Saya percaya semakin banyak yang kita beri (apapun itu, termasuk Ilmu), maka Allah akan menggantikan apa yang kita berikan itu dengan sesuatu yang lebih baik.

Setelah membuat blog ini dan rutin menulis tiap minggu (paling tidak) satu tulisan, saya mulai dihinggapi rasa jenuh. Apa ada ya orang yang membaca? Apa saya capek-capek nulis, sharing pengalaman saya belajar bahasa Arab, apa worth it gitu?

Saya yakin, banyak orang seperti saya. Ingin belajar bahasa Arab, agar mengerti apa yang dibaca ketika sholat, atau ketika baca Al-Quran. Semangat untuk bisa itu membuat saya terus ingin belajar. Tapi, dasar gak punya landasan waktu kecil (hehe ketahuan waktu kecil gak ikut madrasah), maka belajar dikala sudah dewasa terasa sangat sukar. Hanya semangat yang besar, dan keyakinan bahwa Allah SWT akan memudahkan, dan akan mengganti jerih payah ini dengan pahala, yang membuat saya tetap ingin menulis.

Setelah hampir 1 tahun berlalu dan sudah memasuki topik 50 an lebih, timbul keinginan saya untuk tahu, siapakah yang membaca, dari negara mana saja, berapa lama waktu yang dilewati membaca tulisan di blog ini. Alhamdulillah saya bertemu sensor untuk mengetahui itu. Sensor tersebut saya pasang kemaren. Dalam 1 hari lebih ini, telah ada pengunjung sebanyak 147 orang, dengan jumlah hit 361. Rata-rata satu orang menghabiskan 4 menit dalam sekali kunjungan.

Pengunjung tersebar dari beberapa negara. Pengunjung dari Indonesia paling banyak sebesar 46%, diikuti pengunjung dari Malaysia 16%, Amerika 14%, Norwegia 10%, dan Jepang 4%.

Kalau yang dari Malaysia, beberapanya mengirimkan email pribadi ke saya. Sedangkan kalau dari pengunjung dari Negara Lain, spt Jepang, Norwegia, Amerika, saya menduga ini adalah pelajar Indonesia, atau orang Indonesia yang bekerja di negara tersebut.



Sebenarnya sensor tersebug menghasilkan report yang lebih banyak lagi. Seperti tulisan mana yang paling sering dibaca. Bagaimana orang sampai ke blog ini (apakah di-refer oleh Yahoo, Google, atau Website lain) dsb. Alhamdulillah, saya bersyukur menemukan sensor ini.

Demikian sekilas profile dari pembaca blog ini, dari pengamatan selama satu dua hari ini, dan kita akan lanjutkan minggu depan Insya Allah, dengan pembahasan Ayat 2 surat Al-'Ashr.

Senin, 12 November 2007

Topik 57: Pendalaman masalah Mubtada’ dan Khobar

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Sebelum kita lanjutkan pembahasan ayat 2 surat Al-‘Ashr, kita berhenti sejenak disini. Oke kita sudah lihat dan bahas peranan dan fungsi kaana dan inna dalam kalimat. Ingat-ingat lagi ya, karena dua kata ini sering dipakai dalam Al-Quran.

Oke. Kalau dilihat bahwa peranan atau fungsi kaana dan inna ini, sangat berkaitan dengan apa yang disebut mubtada’ dan khobar. Maka pengetahuan mengenai mubtada’ dan khobar ini perlu lebih di perdalam. Sebagai perbandingan kitab Al-Arabiyah Bin Namajiz (Bahasa Arab dengan Pola-pola) membahas masalah mubtada dan khobar ini ke dalam 4 bab terpisah. Dari sini tercermin betapa pentingnya pengetahuan mengenai mubtada’ dan khobar ini.

Oke baiklah. Walau secara ringkas kita sudah bahas, bahwa mubtada’ itu subjek dan khobar itu prediket, sebenarnya pembagian ini kurang begitu operasional. Saya akan jelaskan mengapa.

Mari kita berandai-andai membuat perumpamaan kalimat.

Misal saya katakan:

The house is big.

Rumah itu besar.

Oke dalam bahasa Arab kita katakan:

البيتُ كبيرٌ – al-baytu kabiirun --> Kalimat A

Nah dalam bahasa Arab diatas terlihat bahwa mubtada’ adalah البيتُ – al-baytu, dan yang menjadi khobar adalah كبيرٌ – kabiirun.

Sangat straightforward dan mudah kan.

Tapi bayangkan skenario begini. Tanpa sengaja saya “tertambahkan” alif lam di depan kabiirun. Sehingga kalimatnya menjadi:

البيتُ الكبيرُ - al-baytu al-kabiiru --> Kalimat B

Apa padanan bahasa Inggris nya? Padanan untuk kalimat diatas berubah, menjadi

The big house (rumah besar itu)

Lihat bedanya.

The house is big: Rumah itu besar (kalimat A)
The big house: Rumah besar itu (kalimat B)

Kalimat A adalah kalimat yang sempurna, yang terdiri dari Mubtada’ (Rumah itu) dan Khobar (besar).

Sedangkan kalimat B, bukan kalimat sempurna. Kenapa? Karena kalimat B, hanya terdiri dari mubtada’ saja. Khobarnya tidak ada. Jadi kalimat “Rumah besar itu …” adalah mubtada’, belum jelas “ada apa dengan rumah besar itu”, alias belum ada khobarnya (khobar dalam bahasa Arab artinya berita). Kalimat B, khobarnya belum ada, atau berita-nya belum ada.

Oke. Sekarang kembali ke kalimat B. Saya katakan tadi bahwa Kalimat B belum sempurna. Bagaimana membuat kalimat B jadi sempurna?

Gampang. Tinggal kasih khobar, kan? Ya, anda benar.

Misalkan saya katakan:

The big house is new.

Sekarang saya sudah pilih new: baru (جديد - jadiidun) sebagai khobar. Maka kalimat B, dalam bahasa Arab jika ditambahkan jadiidun, menjadi:

البيتُ الكبيرُ جديدٌ – al-baytu al-kabiiru jadiidun

Sim salabim. Kalimat diatas berubah jadi kalimat sempurna, karena sudah ada khobar (prediket) nya. Mana khobarnya? Yaitu jadiidun.

Nah, kita sudah lihat kan ciri-ciri mana yang khobar, mana yang mubtada. Ciri-cirinya begini:

- Jika ada kata benda ma’rifat (spesifik: biasanya ditandai dengan alif lam -al), maka dia mubtada. Dalam contoh diatas بيتٌ – baitun (sebuah rumah), kemasukan alif lam menjadi البيتُ – al-baytu (rumah itu), adalah mubtada (karena ada al-nya)

- Jika setelah mubtada itu kata benda lagi yang juga spesifik (ada alif lam), maka kata benda itu bukan khobar, tapi shifat dari mubtada’. Dalam contoh diatas, kata كبيرُ - kabiirun (besar) karena mendapat alif lam menjadi al-kabiiru ( الكبيرُ ) maka dia bukanlah khobar, tetapi sifat dari mubtada. Sehingga kita tidak bisa terjemahkan: the house is big, tapi the big house.

- Setelah shifat, jika masih ada kata benda yang ada alif-lam, maka dia bukan lah khobar, tetapi shifat yang kedua. Saya bisa membuat begini: البيتُ الكبيرُ الواسعُ جديدٌُ – al-baytu al-kabiiru al-waasi’u jadiidun (The big large house is new ), atau Rumah yang besar (lagi) luas itu baru. Terlihat disini besar (big) dan luas (large) adalah sifat dari rumah itu, dan keduanya adalah masih bagian dari mubtada’. Sedangkan khobarnya adalah jadiidun (baru).

- Jika setelah mubtada (yang ada al-nya) ada kata benda yang tidak ada al-nya, maka itulah khobarnya. Dalam contoh diatas, kata jadiidun (baru) tidak ada al-nya, maka dapat diindikasikan kata jadiidun adalah khobar.

Ingat, jika sebuah kalimat sudah ada mubtada’ dan khobarnya maka, itu disebut kalimat sempurna.

Demikian, mudah-mudahan jelas ya. Sebagai penutup, saya sampaikan bahwa khobar-pun dapat terdiri dari lebih dari satu kata. Contoh sebelumnya khobar hanya satu kata, yaitu jadiidun. Dalam Al-Quran kadang-kadang khobar itu terdiri dari 2 kata benda.

Contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 115.

إن الله واسعٌ عليمٌ – inna Allaha waasi’un ‘aliimun : sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.

Lihat kalimat diatas, jika inna saya buang maka menjadi:

اللهُ واسعٌ عليمٌ – Allahu waasi’un ‘aliimun : Allah Maha Luas (rahmatNya) lagi Maha Mengetahui.

Perhatikan, bahwa struktur kalimatnya:

Mubtada: Allahu
Khobar: waasi’un ‘aliimun

Khobarnya terdiri dari dua kata benda. Kita bisa lanjutkan menambahkan kata benda (yang merupakan sifat dari Mubtada) dengan tambahan lain misalkan: Allahu waasi’un ‘aliimun rahiimun rahmaanun dst (dimana mubtada'-nya Allahu, dan sisanya adalah khobar).

Jelaslah sekarang, bahwa kepandaian menentukan mana khobar, mana mubtada’ akan membantu kita dalam menerjemahkan text Al-Quran, khususnya yang berkaitan dengan inna dan kaana. Insya Allah akan kita jelaskan mengenai khobar muqoddam, pada topik-topik selanjutnya.

Rabu, 07 November 2007

Topik 56: Fungsi Inna

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan segera masuk ke ayat 2 surat Al-‘Ashr. Dalam topik ini kita akan pelajari fungsi dari inna ( إنّ ) dan anna ( أنَّ ), dan apa bedanya dengan kaana ( كان ). Dan jika ada waktu kita bahas juga bedanya dengan an ( أنْ ).

Empat hal itu sangat sering ketukar-tukar (at least bagi saya sendiri). Oke sebelum masuk ke ayat 2 nya, saya sampaikan summary dari 4 hal tsb.

Kata inna ( إنّ ) artinya: sesungguhnya (indeed) dan anna ( أنَّ ) artinya : bahwasannya. Terlihat berbeda antara inna dan anna, secara bahasa Indonesia. Tetapi secara bahasa Arab fungsi dan kedudukannya sama. Anna adalah inna yang terdapat ditengah kalimat.

Kaana fungsinya kebalikan dari Inna. Kaana secara arti sudah dibahas panjang lebar di topik sebelum ini (lihat dan baca lagi jika belum paham).

Sedangkan kata an ( أنْ ), secara bahasa Indonesia tidak ada artinya (tidak bisa diartikan), tapi karena dekat (apalagi kalau nanti baca arab gundul) kita sukar membedakan:
أن apakah أنَّ – anna (bahwasannya) atau أنْ – an (tidak ada padanan bahasa Indonesianya).

Oke baiklah kita sekarang masuk ke ayat 2 surat Al-‘Ashr.

إنَّ الإنسان لفي خسر - inna al-insaana la fii khusrin

Inna = sesungguhnya
Al-insaana = manusia (insan)
La = sungguh
Fii = dalam
Khusrin = kerugian

Baiklah... Kita lihat Inna dalam kalimat diatas, artinya sesungguhnya. Ya, kata inna ini fungsinya penekanan. Sering dalam bahasa Inggris diterjemahkan Indeed. Oke, kalau begitu apa kedudukan dan fungsi inna dalam kalimat?

Fungsi (tugas) inna adalah sbb:
- me-nashob-kan mubtada'
- me-rafa'-kan khobar.

Oh, kalau begitu fungsinya kebalikan dari kaana كان ya Mas? Ya, Anda betul. Kalau Kaana fungsinya:
- me-rafa'kan mubtada'
- me-nashobkan khobar.

Duh bingung nih... bisa kasih contoh gak?

Oke pada saat membahas kaana kita kasih contoh sbb:

كان البيتُ جميلا - kaana al-baitu jamiilan : (dulu) rumah itu bagus

kalau kita pakai Inna maka menjadi:

إن البيتَ جميلٌ - inna al-baita jamiilun : sesungguhnya rumah itu bagus

Terlihat bedanya kan. Mubtada al-baitu, khobar jamiilun. Jika kemasukan kaana, maka kbobar menjadi nashab (fathah). Sedangkan jika kemasukan inna maka mubtada' jadi nashab (fathah).

Oke sekarang kita sudah tahu bedanya: kaana dan inna secara fungsi. Kita kembali ke surat Al-'Ashr ayat 2 ini.

إنَّ الإنسان لفي خسر - inna al-insaana la fii khusrin

terlihat dari kalimat diatas yang menjadi Mubtada adalah al-insaana. Lalu khobarnya mana. Nah khobarnya disini adalah khobar jumlah (khobar yang tidak terdiri dari 1 kata, tapi dari kalimat). Jika khobarnya khobar jumlah, maka efek perubahan dhommah ke fathah tidak kelihatan.

Kalimat diatas bisa diganti dengan khobar satu kata saja.

إن الإنسان خسرا - inna al-insaana khusran : sesungguhnya manusia itu rugi

Lihat bahwa khobarnya menjadi fathah (dibaca khusran, bukan khusrun atau khusrin)

Nah kalau kita pakai kaana, kalimat diatas menjadi:

كان الإنسان خسْرٌ - kaana al-insana khusrun : (dulu) manusia itu rugi

Atau jika khasirun tidak ingin dalam bentuk mashdar, kita ubah ke isim fail menjadi khaasirun

إن الإنسان خاسِرٌ - inna al-insaana khaasirun : sesungguhnya manusia itu (adalah) orang yang merugi

Jadi, kita ulangi, bahwa kanaa secara fungsi (tugas) dalam kalimat, berkebalikan dengan inna.

Insya Allah di topik selanjutnya kita akan bahas mengenai lam taukid (lam penguat). Lihat di ayat 2 ini ada kata-kata:

la fii khusrin

Nah pada kalimat diatas adalah lam taukid. Insya Allah kita akan bahas juga pendalaman masalah khobar yang panjang (ditambahi dengan shifat / maushuf).

Senin, 05 November 2007

Topik 55: Fungsi dan Kedudukan WAW

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan masuk ke ayat pertama surat Al-‘Ashr. Kita akan pelajari peranan dan fungsi huruf waw.

Oke sebelum kita masuk ke ayat 1, saya tanya dulu nih, rasanya semua tahu arti wa = dan, bukan? Feeling saya mungkin semua yang bisa baca al-Quran ya katakanlah 80% pasti tahu kan bahwa kata وَ wa itu artinya “dan”

Misal:

ذهب إلى المسجد عمر و علي - dzahaba ila al-masjidi Umar wa ‘Ali

Pergi ke masjid (si) Umar dan Ali.

Nah semua pasti tahu kan kata عمر و علي – Umar wa ‘Ali, bahwa kata wa disitu artinya dan? Ya saya rasa semua sudah pada tahu ya.

Oke apa lagi makna wa itu? Nah ini saya kasih daftarnya. Wa itu maknanya ada 3 kemungkinan:

1. Artinya: dan (and)
2. Artinya: demi (untuk sumpah)
3. Artinya: padahal

Oooo… gitu… Yang saya tahu selama ini, wa itu artinya hanya dan, ternyata ada arti lain ya… Oke kapan masing-masing itu kita gunakan? Insya Allah saya akan jelaskan.

Baiklah, kita masuk ke ayat 1 dulu ya, surat Al-‘Ashr:

و العصر - wa al-‘ashri

Diterjemahkan: Demi Masa.

Oke kata al-‘ashr bisa artinya masa (waktu), bisa artinya senja. Kalau begitu wal-ashr itu artinya: Dan masa dong mas… Kok malah diterjemahin Demi Masa?

Nah ini lah fungsi pertama waw. “WA” jika diikuti isim yang harokatnya kashroh, maka kata “WA” disitu artinya “DEMI” yang diucapkan dalam rangka sumpah.

Misalkan begini. Pernah lihat kan kalau pejabat disumpah dibawah Al-Qu’ran. “Demi Allah. Saya bersumpah. Bahwa saya … bla bla bla”. Nah kata-kata : Demi Allah disitu dalam bahasa Arabnya:

و اللهِ – wa Allahi, atau wallahi.

Lihat harokat kata Allah adalah kasroh, sehingga dibaca wallahi. Nah kalau waw bertemu isim (kata benda) dengan harokat kasroh, maka ini adalah kalimat sumpah, dimana wa diterjemahkan DEMI.

Dalam Al-Quran banyak ditemukan Allah bersumpah dengan nama Makhluknya. Seperti wal-layli : Demi Malam, wan-nahaari : Demi Siang, wal-fajri : Demi (waktu) Fajar, dsb.

Jadi singkat cerita, untuk mengartikan WA tinggal dilihat harokat isimnya, apakah kasroh atau tidak. Jika kasroh, maka diterjemahkan “DEMI”, jika tidak (dhommah, atau fathah) maka diterjemahkan DAN.

Kita tidak boleh bersumpah dengan nama makhluk. Misalkan: walardhi (demi bumi) saya berjanji tidak berbohong. Nah ini tidak boleh. Manusia hanya boleh bersumpah atas nama Allah.

Sampai disini kita sudah mempelajari 2 fungsi dan macam waw yaitu:
WAW QOSAM (WAW janji) yang diterjemahkan Demi
WAW ATHOF (WAW penyambung) yang diterjemahkan Dan

Ada jenis WAW yang ke tiga yaitu WAW HAL, yaitu waw yang menjelaskan suatu keadaan (yang biasanya bertentangan dengan asumsi). Misalkan dalam surat Al-Maarij ayat 7.

ayat 6: Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh.
ayat 7: و نراه قريبا - wa naraa hu qoriiban

wa = padahal
naraa = kami melihat
hu = nya
qoriiban = dekat

Orang kafir memandang siksaan akhirat itu jauh (Ibnu Katsir menafsirkan maksud jauh itu mustahil terjadi). Jadi orang kafir merasa siksaan akhirat itu mustahil terjadi. Padahal Allah SWT memandang siksaan itu sangatlah dekat dengan mereka. Lihat wa disini diterjemahkan padahal.

Demikianlah telah kita bahas 3 macam jenis WAW. Insya Allah jelas ya. Alhamdulillah.

Rabu, 31 Oktober 2007

Topik 54: Latihan Surat Al-'Ashr (Pendahuluan)

Bimillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita akan mulai masuk ke surat pendek lainnya. Oh ya, saya janji untuk mengulas bacaan-bacaan sholat ya? Kalau boleh nawar, habis seluruh surat-surat pendek saja bagaimana? Atau bagi yang sudah gak sabar, sekarang kan banyak buku-buku mengenai sholat, disitu ada terjemahannya juga kan…

Masalah lain adalah sampai saat ini belum semua materi tatabahasa Arab kita sudah selesaikan. Masih banyak lho, materi yang belum. Contoh, masalah inna atau anna. Kemudian KKT 3 s/d 7, juga belum kita bahas. Berikut hal-hal yang kecil-kecil, seperti Jamak Taksir, belum kita perdalam. Sebagai perbandingan, dalam buku-buku standar pelajaran babasa Arab, Jamak Taksir (kata benda jamak tidak beraturan) saja dibahas dalam satu sampai dua bab sendiri. Dari seluruh peta perjalanan, kita sudah sampai mana? Saya katakan sampai topik 53 ini kita baru menyentuh 10 – 15% materi… wuihhh…. Still long way to go man!!! Gpp… tetap semangaaattt!!!

Baiklah, kita masuk ke latihan surat Al-‘Ashr, surat ke 103 di Al-Quran. Surat ini pendek sekali hanya 3 ayat. Tapi banyak sekali pelajaran bahasa Arab yang akan (Insya Allah) kita pelajari. Apa saja? Seperti biasa, fokus latihan kita adalah:
1. Mendapatkan mufrodad (vocabulary) baru
2. Mempelajari tata-bahasa (nahwu – shorof)
3. Menyinggung sedikit mengenai ahamiatuhu (nilai penting)nya, berupa tafsir dari beberapa ulama.

Di topik 54 ini kita akan bahas point no. 3 yaitu ahamiyyah - nilai pentingnya (أهمية) surat Al-‘Ashr ini. Seperti biasa kita pakai beberapa kitab tafsir seperti Ibnu Katsir atau Tafsir Al-Azhar. Oke... sebelum menyinggung ahamiyyah surat ini, maka saya akan “janjikan” dulu dari aspek tatabahasa (point 2) kira-kira kita akan belajar apa?

Oke... Dalam surat ini, banyak pelajaran tatabahasa yang kita bisa pelajari. Inilah peta perjalanannya:
1. Mengetahui makna dan fungsi waw- و
2. Makna dan fungsi Inna - إنّ atau Anna أنّ
3. Pemakaian LAM taukid (penguat)
4. Pemakaian kata pengecualian illa إلاّ
5. Bentuk Jamak Salim Muannats
6. KKT 4 (Kata Kerja Turunan ke 4) dengan wazan تفاعل

Wuih... banyak juga ya... Hehe... no worries, laa tahzan... sabar ya... Insya Allah kita akan pelajari satu-satu... Kalau bisa sih dalam topik yang terpisah biar lebih fokus ya... Insya Allah...

Ahammiyah Surat Al-Ashr

Surat ini merupakan surat yang termasuk golongan surat Makiyyah, atau surat yang turun dalam periode sebelum Hijrah. Sebagian kecil salaf, seperti Mujahid, Qatadah, dan Muqotil memasukkan kedalam golongan Madaniyah, tetapi mayoritas memasukkan ke dalam kategori Makkiyyah. Ciri-ciri surat Makkiyyah sangat kental di surat ini. Surat Makkiyyah datang pada masa-masa awal Islam. Ayat-ayatnya biasanya pendek-pendek, tapi jelas, dan lantang terdengar ditelinga. Siapa yang melintas mendengar, akan tersentak, dan terdiam untuk mendengarkan.

Pesan yang singkat, padat, dan pendek lebih memancing perhatian orang. Lihatlah poster-poster iklan sekarang. Tidakkah mereka pakai strategi itu juga. Contoh, salah satu operator seluler baru iklannya spt ini:

“Gratis SMS ke sesama X, Mau?”

Atau iklan pembasmi nyamuk:

“Yang lebih bagus? Yang lebih mahal banyak!”

Atau iklan waktu Pilpres kemaren:

“Bersama kita bisa!”

Ya, ilmu komunikasi massa sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Dalam dunia marketing kita kenal istilah yang sangat masyhur: Marketing Mix 4 P. Yaitu Product, Place, Price, Promotion. Nah promosi (iklan) itu sudah menjadi pilar marketing sendiri. Dan lihatlah, strategi yang disampaikan Al-Quran 15 abad yang lalu, dimasa-masa awal Islam, pada masa introduction (pengenalan produk ke masyarakat), bahasa-bahasa iklan yang sesuai dengan psikologi massa sudah digunakan. Bahasanya singkat, padat, dan lantang.

“DEMI MASA”

Coba banyangkan kalau ada orang yang berbicara keras, ditengah kerumunan orang, dengan kalimat singkat diatas “Demi Masa!”. Tentulah akan menarik perhatian orang disekitarnya. Apa maksudnya nih... “Demi Masa”? Kenapa? Ada apa dengan waktu?

Itulah salah satu mu’jizat Al-Quran. Bahasanya sangat manusiawi. Menyentuh semua level kepandaian. Dari orang rata-rata sampai genius. Dari buruh & petani sampai saudagar. Dari tamatan SD sampai Profesor. Semua bisa memahami Al-Quran dengan bahasanya yang menyentuh tsb.

Ambil contoh, di Al-Quran dikatan

كل نفس ذائقة الموت - kullu nafsin dzaa-iqatu al-maut

Yang diterjemahkan: tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Orang yang awam akan merasakan: oohh… tiap yang hidup akan mati. Orang yang ahli biologi atau dokter, langsung terbayang bagaimana syarat suatu kehidupan (seperti pembakaran makanan perlu oksigen, aliran darah dst), yang jika itu berhenti, maka akan matilah dia. Orang yang mengerti rasa bahasa Arab, akan melihat ayat itu dengan takjub juga. Perhatikan kata dzaa-iqa ذائق diterjemahkan merasakan (catatan: sebenarnya yang pas itu, "yang merasakan" karena ini isim fa'il, sama dengan kasus faa-i-zin & 'aa-i-din). Kata dzaa-iqa ini akarnya adalah ذاق – dzaaqa, yang artinya mencicipi (to taste), sehingga kata dzaa-iqa itu = yang mencicipi. Bayangkan indahnya bahasa Al-Quran. Tiap yang berjiwa akan mencicipi kematian. Seperti hidangan, ayo masing-masing orang cicipi deh itu kematian… Jangan takut, kalau banyak amal sholeh, rasa cicipan kematian itu akan sedap, dst. Beragam interpretasi dan khayalan muncul dari text suatu kalimat, tergantung background masing-masing pembacanya.

Ayat-ayat dalam surat Al-‘Ashr ini secara umum mengatakan, bahwa sebenarnya kita-kita ini selalu dalam keadaan rugi. Lawan rugi tentu untung. Siapa yang tidak rugi, atau dalam bahasa lain, siapa manusia yang beruntung? Dalam ayat ini dikatakan yang tidak rugi itu adalah orang-orang yang: (1) Aamanuu: beriman, (2) Aamilush-sholihat: mengerjakan amal sholeh, (3) tawaa shaubil-haq: saling bernasehat kepada kebenaran, (4) tawaa shaubish-shob : saling bernasehat kepada kesabaran.

Mengutip tafsir Al-Azhar: Ibnul Qayyim di dalam kitabnya "Miftahu Daris-Sa'adah" menerangkan; "Kalau keempat martabat telah tercapai oleh manusia, berhasillah tujuannya menuju kesempurnaan hidup.

Pertama: Mengetahui Kebenaran.
Kedua: Mengamalkan Kebenaran itu.
Ketiga: Mengajarkannya kepada orang yang belum pandai memakaikannya.
Keempat: Sabar di dalam menyesuaikan diri dengan Kebenaran dan mengamalkan dan mengajarkannya.

Jelaslah susunan yang empat itu di dalam Surat ini. Demikian, Hamka mengutip. Insya Allah kita akan lanjutkan ke Latihan.

Catatan: Nasyid Raihan ini sangat saya sukai.

Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan yang beramal soleh

Gunakan kesempatan yang masih diberi
Moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan
Kerna ia takkan kembali

Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati

Selasa, 30 Oktober 2007

Topik 53: Efek Waktu & Kehebatan Bahasa Arab

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Sebelum lanjut ke topik Latihan surat-surat pendek yang lain, kita istirahat sejenak dengan melihat apa bedanya antara bahasa kita dengan bahasa Arab. Saya hanya sekedar sharing pengalaman belajar bahasa Arab dalam beberapa bulan ini.

Ternyata semakin dipelajari, semakin kita yakin mengapa bahasa Arab itu dipilih sebagai bahasa Al-Quran. Oh… ya, frekuensi penulisan mungkin agak berkurang, karena kesibukan saya saat ini didalam beberapa project.

Oke… baiklah. Apa sih hebatnya bahasa Arab? Tanpa banyak teori, mari kita lihat saja contoh berikut. Saya akan buat dua kalimat dalam bahasa Arab, yang jika kita terjemahkan kedalam bahasa kita, terjemahannya persis sama.

يا أيها المؤمنون - yaa ayyuha almu’minuun : hai orang-orang beriman
يا أيها الذين آمن – yaa ayyuha alladzina aamanu : hai orang-orang beriman

Keduanya diterjemahkan sama dalam bahasa kita. Ya, bahasa kita tidak bisa menangkap beda keduanya. Padahal dalam bahasa Arabnya, kedua kalimat diatas ada bedanya.

Kalimat pertama, kata al-mu’minuun, artinya orang-orang yang beriman. Kapan berimannya? Ya tidak dijelaskan, bisa kemaren, bisa sekarang, dll. Sedangkan dalam kalimat kedua, kata-kata alladzina aamanu, artinya juga “orang-orang beriman” tetapi ini sifatnya orang tersebut saat ini sudah beriman, dan dia mulai berimannya di masa lalu. Dalam bahasa Arab, kata aamanu disebut fi’il madhy (KKL).

Ahli bahasa Arab, menggolongkan kalimat yang mengandung KKL itu hampir identik dengan kalimat sempurna dalam bahasa Inggris (Past Perfect Tense, atau Present Perfect Tense). Artinya kata kerja tsb telah sempurna selesai dikerjakan. Biar gak bingung saya kasih padanan bahasa Inggrissnya:

يا أيها المؤمنون - yaa ayyuha almu’minuun : O, believers
يا أيها الذين آمن – yaa ayyuha alladzina aamanu : O, people who have believed (atau O, people who had believe)

Nah terlihat bedanya kan. Pada kalimat pertama, kata-katanya netral saja, tidak ada keterangan waktu. Sedangkan pada kalimat kedua, kata kerja “percaya” itu telah selesai dengan sempurna (perfect tense).

Lalu apa pointnya Mas? Oke… yang ingin saya sampaikan adalah bahwa, penerjemahan bahasa Arab ke bahasa Indonesia, terkadang menyebabkan beberapa keterangan tambahan dalam bahasa Aslinya menjadi hilang dalam bahasa kita. Lihat dua kalimat diatas. Dua-duanya diterjemahkan menjadi kalimat yang persis sama dalam bahasa Indonesia. Ya, memang begitu. Tidak ada satu bahasapun didunia ini yang bisa diterjemahkan yang kompatibel 100%, pasti ada makna yang hilang atau berubah. Ini salah satu yang menjadi alasan, kenapa ada ulama yang tidak membolehkan Quran ditafsirkan. Dimana dikuatirkan, jika orang sudah tidak lagi membaca text asli (arabnya), dan hanya mengandalkan bahasa terjemahan, maka jelas maksud asli ayat bisa-bisa salah atau kurang lengkap bisa ditangkap oleh pembacanya.

Itu satu hal, kelemahan bahasa kita.

Lalu mungkin Anda akan berkata, hmm dalam bahasa Inggris ada padanan yang lebih kompatibel. Kalau begitu apa kelebihan bahasa Arab dibandingkan bahasa Inggris?

Oke saya akan kasih contoh mengenai ini.

Salah satu kelebihan bahasa Arab dibandingkan bahasa Inggris, antara lain, bahwa bahasa Arab tersusun dengan aturan yang sangat rigid (kokoh) sekali. Ibarat batu-bata yang tersusun rapi, ikatannya kuat sekali. Kalau satu bata hilang, kita masih bisa mereka bata yang hilang itu seperti apa. Satu kata dalam kalimat, saling terkait aturannya dengan kata yang sesudahnya dan kata yang sebelumnya. Saya pakai istilah forward correlation dan backward correlation. Ingat topik sebelumnya mengenai kaana, yang merafa’kan mubtada dan men-nashabkan khobar. Dengan pola misalkan spt ini:

AAA XXX YYY.

AAA adalah Kaana كان, maka dia mempengaruhi kata XXX dan YYY (mempengaruhi dua kata sekaligus). Dalam bahasa Inggris, sebetulnya kita temukan juga. Misalkan kata have/has.

I have spoken.

Kata have mempengaruhi kata speak, yang berubah menjadi spoken. Tapi kata have hanya mempengaruhi satu kata saja. Sedangkan dalam bahasa Arab bisa 2 kata sekaligus.

Dalam bahasa Indonesia,,, hehe… boro-boro… Kata spt ini (kata yang mempengaruhi kata lain) tidak ada ditemukan.

Contoh lain. Dalam bahasa Arab, kata depan (preposisi) atau disebut Huruf Jar, mempengaruhi kata setelahnya. Dalam bahasa Inggris tidak.

Rumah: بيت – baitun = a house

Dalam rumah: في بيتٍ : fii baitin
Dalam rumah : in a house

Lihat dalam bahasa Arab, kata asli baitun, begitu mendapat kata depan (didalam, fii) berubah jadi baitin. Dalam bahasa Inggris, tidak demikian, house tetap saja house (bukan menjadi housi atau housen), sehingga dibaca “in a house”, bukan “in a housen” layaknya bahasa Arab.

Apa manfaatnya ini? Kalau kita bayangkan, kata في - fi cetakannya agak buram, yang jelas hanya بيتٍ – baitin, maka kita tahu, pastilah kata yang hilang, atau cetakannya kurang jelas itu jenisnya kata depan, karena rumah disitu tertulis baitin (bukan baitun). Artinya korelasi dan sifat saling terkait antara satu kata dengan kata lainnya dalam bahasa Arab sangatlah massif (kokoh). Ini yang menyebabkan, tidak sembarangan bisa mengubah-ubah kalimat-kalimat dalam Al-Quran. Diganti satu kata (misalkan niatnya memalsukan), maka bagi yang mengerti kaidah tata bahasa Arab akan segera tahu, bahwa ada keanehan. Dibuang satu kata saja, akan terlihat jelas, sangking kokohnya keterkaitan antara satu kata dengan kata lainnya dalam bahasa Arab.

Masih banyak lagi contoh-contoh tentang ini. Seperti huruf LAM nahi-jenis لا , yaitu LAM yang diikuti kata benda (isim) yang bersifat umum dengan harokat akhir fathah (bukan fathatain), maka pasti ada prediket (khobar) yang kadang dibuang. Contohnya:

No doubt (tidak ada keraguan), dalam bahasa Arabnya: لا ريب - Laa raiba.

Kata Laa dan Raiba saling massif (kokoh) keterkaitannya, dimana dalam hukum LAM Nahi Jenis ini mengatakan bahwa ada prediket yang dibuang, yaitu maujuudun, sehingga makna dari Laa Raiba itu adalah

Laa Raiba Maujudun = Tidak ada keraguan (yang wujud)

Atau

No doubt (that exists).

Kata-kata “that exist” itu sudah otomatis saja ada dalam pengertian bahasa Arab. Sehingga kata yang singkat Laa Raiba, tapi pengertiannya utuh. Beda dengan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, kata “tidak ada keraguan”, keraguan apa? Atau, keraguan seperti apa? Ini belumlah jelas.

Kehebatan ke tiga.

Menurut saya kehebatan ke tiga bahasa Arab dibandingkan dengan bahasa Inggris dan (apalagi) dengan bahasa kita adalah: bahwa bahasa Arab, ringkas tapi maknanya komplit. Mengapa? Ambil contoh kasus kata kerja dalam bahasa Arab. Ajaib, kata kerja dalam bahasa Arab sudah tercakup pelaku di dalammnya.

Contoh: قرأت - qora’tu (satu kata)

Dalam bahasa Indonesia = Saya telah membaca (tiga kata)
Dalam bahasa Inggris = I have read (tiga kata)

Contoh lain: سأقرأ – sa-aqra-u (satu kata)

Dalam bahasa Indonesia = Saya akan membaca (tiga kata)
Dalam bahasa Inggris = I will read (tiga kata)

Apa hebatnya? Lihat contoh-contoh diatas. Dalam bahasa Arab, satu kata kerja sudah melekat dua keterangan tambahan langsung:
- siapa yang melakukan
- kapan dilakukan

Bayangkan alangkah ringkas dan kompaknya bahasa Arab. Cukup dengan satu kata mengandung makna yang lengkap. Jelaslah buku terjemahan bahasa Arab ke bahasa Inggris atau bahasa Indonesia biasanya akan jauh lebih tebal.

Dan masih banyak lagi bedanya, dimana dengan mengkaji perbedaan-perbedaan tersebut, kita bisa tambah yakin, bahwa dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh bahasa Arab, tepat sekali bahasa ini dipilihkan sebagai bahasa kitab Firman Allah yang terakhir (Al-Quran). Last but not least, bahasa Arab itu lebih mudah untuk dihafal. Karena susunannya bisa dibuat berima atau bersajak, maka kalimat-kalimatnya mudah untuk dihafal. Ingat kembali topik lalu, kata-kata bahasa Arab, kadang disusun dengan akar kata yang sama, tapi mendapat tambahan huruf sehingga artinya berbeda, tapi masih ada kaitan. Seperti janna (tertutup), majnun = orang gila (tertutup akalnya), jannah = syurga (tertutup dari orang kafir) , junnah = benteng (tertutup dari musuh), dsb. Keterkaitan itu membuat kosa-katanya lebih mudah untuk dihafal.

Seperti telah disebutkan juga di topik lalu, contoh kata ra'a : melihat, maka mar'ah = wanita (tempat jatuhnya (tertujunya) penglihatan), dsb. Juga bahasa Arab ada wazan-wazan (timbangan, pola, atau pattern) yang jika hafal akan lebih lebih memudahkan lagi untuk menghafalnya. Seperti, kataba = menulis, maktab = meja (tempat menulis), kaatib = penulis/pengarang (orang yang menulis), dll.

Allah SWT, berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? Al-Qomar 17,22,32,40

Perhatikan kata-kata li-dzikri, diterjemahkan sebagai untuk pelajaran. Dzikri dari akar kata dzakara, arti asalnya mengingat. Sehingga bisa dikatakan, telah dimudahkan Al-Quran itu untuk diingat.

Allah SWT akan menjaga keaslian Al-Quran itu, dengan cara dia mudah untuk dihafal. Tidak ada satupun buku didunia ini yang mampu dihafal oleh orang ribuan, bahkan jutaan orang, yang panjang pendeknya, titik komanya, bisa dihafal, tanpa salah sedikitpun. Subhanallah, wal-hamdulillah, waLLAHu Akbar.

Jumat, 26 Oktober 2007

Topik 52: Latihan Surat Al-Ikhlas ayat 4, Fungsi Kaana

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah. Kita akan menyelesaikan, latihan ayat 4 ini. Tapi sebelumnya saya kasih pertanyaan sedikit. Di topik 50, kita sudah terjemahkan ayat 4, yaitu:

و لم يكن له كفوا أحد - wa lam yakun la hu kufuwan ahad

wa= dan
lam= tidak
yakun= adalah (Dia)
la hu = bagi Dia
kufuwan = yang setara
ahad = seseorang

Nah lalu saya nerjemahin begini:
Dan adalah tidak seseorang(pun) yang setara bagi Dia.

Atau jika hendak diperhalus, kata adalah bisa dibuang (baca penjelasannya di topik 51), sehingga bisa menjadi:

Dan tidak seseorang(pun) yang setara bagi Dia.

Loh mas bukannya kalau mau urut mestinya terjemahannya:

Dan tidak adalah bagi Dia yang setara seorang(pun).

Saya tidak terjemahkan demikian. Kenapa? Karena kita akan melihat tugas kaana. Bagaimana tugas kaana itu? Nih saya kasih istilah yang mungkin agak teknis dikit ya... Ok... Siap...?

Tugas Kaana
Kaana bertugas:
- Me-rafa'kan mubtada
- Me-nashab-kan khobar

Weh... weh... kalau mubtada dan khobar rasanya kite-kite sudah pernah dengar deh di topik-topik yang lalu. Oke... saya lagi baik hati. Saya ulangi sedikit ya. Kalau ambil contoh: Zaid ganteng زيدٌ جميلٌ - zaiduun jamiilun. Perhatikan Zaidun adalah mubtada (subjek), dan Jamiilun adalah khobar (prediket). Perhatikan dalam kondisi normal maka Zaid adalah rofa' (yaitu harokat akhir dhommah), sehingga dibaca Zaidun, bukan Zaidan, atau Zaidin. Dan dalam kondisi normal khobar juga rofa', maka dibaca Jamiilun.

Jadi ingat saja, rofa' atau marfu' itu = dhommah atau dhommatain. ُ atau ٌ .

Nah sekarang kalau kita lihat tugas nya kaana itu menashabkan khobar.

Ingat, nahsab = fathah atau fathatain. َ atau ً .

Sehingga kalau kita terapkan:

زيدٌ جميلٌ - zaiduun jamiilun : Zaid ganteng

Jika kita tambahkan kaana didepannya menjadi:

كان زيدٌ جميلاً - kaana zaidun jamiilan : (adalah) Zaid ganteng.

Oh ya, kalau suatu kata benda (isim), jika bersifat nakiroh (tidak ada al), maka ada tambahan alif, sehingga ditulis:

جميلاً bukan جميلً .

Nah kira-kira kita sekarang bisa membayangkan, bahwa kalaupun setelah kaana ada kata beda (isim) yang terbalik, maka metode penerjemahannya sama. Artinya dari kondisi apakah dia nashab atau rafa' kita bisa tahu mana subjek dan prediketnya.

Anggaplah saya (agak) salah, tertukar menuliskan:

كان جميلاً زيدٌ - kaana jamiilan zaidun

Karena kita tahu bahwa yang jadi mubtada (subject) adalah zaidun, maka kita menerjemahkannya:

(adalah) Zaid ganteng,

bukan

(adalah) Ganteng zaid.

Demikian juga dalam ayat 4 surat Al-Ikhlas ini, kita bisa lihat bahwa yang menjadi mubtada adalah احدٌ - ahadun : seorang(pun). Dan yang menjadi khobarnya adalah كفوًا - kufuwan (karena harokatnya fathatain setelah kaana).

Oleh karena itu ayat ini kita terjemahkan:


و لم يكن له كفوا أحد - wa lam yakun la hu kufuwan ahad


Dan tidak (adalah) [mubtada=ahadun] [khobar=kufuwan] [pelengkap=lahu].
Dan tidak (adalah) [seseorang(pun)] [yang serupa] [bagi Dia].

Semoga menjadi jelas ya. Insya Allah.... Alhamdulillah, akhirnya selesai kita bahas latihan surat Al-Ikhlas ini. Kita akan ketemau lagi minggu depan.

Kamis, 25 Oktober 2007

Topik 51: Makna Kaana

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT, kita masih membahas tentang Kaana. Kaana ini karena agak unik, maka kita perlu membahasnya, agak sedikit panjang ya... Gpp kan? Hehe...

Oke... Ingat kaana, tentu Anda ingat dengan "Kun Fayakun". Ya saya ingat sekali waktu kecil sering dikasih tahu orang-orang tua: "Apa yang tidak mungkin bagi Allah. Jika Dia ingin berbuat sesuatu, Dia tinggal berkata: Kun كن - jadilah, Fayakun فيكن - maka jadilah ia".

Nah, kun كن itu adalah bentuk kata kerja perintah (fi'il amr) dari كان sedangkan fayakun itu asalnya adalah fa yakuunu ف + يكون . Kenapa waw nya hilang, menjadi fayakun فيكن saja? Ini nanti akan dibahas pada Topik : Kalimat Syarat dan Jawab.

Oke kita tinggalkan dulu kun fayakun... Kalau ada waktu kita akan singgung lagi.

Sekarang kita masuk membahas, apa saja makna kaana كان. Oke kita akan lihat, dan bahas di topik ini. Sedangkan tugas kaana, akan kita bahas di topik 52.

Makna Kaana

Kana itu ada 3 macam maknanya, tergantung konteks. Apa saja itu?
1. Kaana berarti adalah/atau tidak terjemahkan (is atau was dalam bahasa Inggriss)
2. Kanaa bisa berarti menjadi (to become)
3. Kanaa bisa berarti selalu

Baiklah kita bahas satu-satu...

1. Kaana bermakna adalah. Contohnya begini.

Zaid was handsome (Zaid --adalah-- ganteng). Ada 2 alternatif:
زيد جميل - Zaidun Jamiilun
كان زيد جميلاً - kaana Zaidun Jamiilan

Dua-duanya bisa dipakai. Kalimat pertama menjelaskan bahwa Zaid itu ganteng. Sedangkan kalimat kedua menjelaskan bahwa (dulu) Zaid itu ganteng (sekarang mungkin ganteng mungkin kurang ganteng).

Oh ya, kadang adalah itu tidak enak secara bahasa Indonesia, makanya kalau kaana dalam arti adalah ini, biasanya tidak diterjemahkan.


2. Kaana bermakna menjadi

Contohnya:
محمدٌ معلمٌ - muhammadun mu'allimun : Muhammad seorang guru
كان محمدٌ معلماً - kaana muhammadun mu'alliman : Muhammad telah menjadi seorang guru
يكون محمد معلماً - yakuunu muhammadun mu'alliman: Muhammad (sedang) menjadi seorang guru

3. Kaana bermakna senantiasa/selalu

Contohnya:
كان الله عليماً حكيماً - kaana Allahu 'aliiman hakiiman : Adalah (senantiasa) Allah (bersifat) Maha Mengetahui Maha Adil

Secara umum kaana itu berarti adalah. Tinggal dilihat apakah konteksnya KKL kaana, atau KKS yakuunu.

Insya Allah kita akan lanjutkan dengan sifat atau tugas Kaana ini, pada topik selanjutnya.